“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk
menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin” (Dr Ingwer Ludwig Nommensen)
Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika
Dr Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah
Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?
Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan
pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara
itu dalam melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak
patut mendapatkan penghormatan.
Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika
utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara
mereka, Pendeta Dr Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru
bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.
Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan
Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84
tahun. Di masa muda Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan
teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen,
setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15
tahun.
Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun
sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris
mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang
terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli
Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka
ditolak. Konon, animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.
Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry
Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di
sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining,
sekitar Tarutung. Konon, pembunuhan dilakukan atas perintah Raja
Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20
kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil,
meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam
kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering
sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan
sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya
bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi
gembala upahan hingga umur 10 tahun.
Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu,
ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika
berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga
membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Ketika
dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak
dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu
terkabul ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal
Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul dan ia pun sembuh.
Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian
seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih
cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal
menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen,
mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru
pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah
ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu.
Akhirnya, ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG
Barmen.
Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah
teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan
sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut
disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13
Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar
kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya
bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan
dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai
sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada
Bangsa Belanda).
Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali
waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan
bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu
menemui Dr H N Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus
oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah
mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada
24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju
Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian
meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian
mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain
karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas
antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.
Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk
pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang
ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani
penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana),
pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan
Silindung.
Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak
Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara),
Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual
penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah
orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual
(Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso
bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek
moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso
jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.
Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling
berpengaruh di Silindung: Raja Aman Dari dan Raja Pontas Lumban Tobing,
maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame,
sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas,
maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat
gereja HKBP.
Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian
pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di
Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran
antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang
terjadi, mereka pun batal melanjutkan perjalanan dan memutuskan agar
kembali ke Silindung.
Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah
pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil
menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan
oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan
Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.
Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen
menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan
di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang
tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun
mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan
tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut
dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja
Protestan di Tanah Batak.
Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan
zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang
dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J Warneck pun
tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di
Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.
Misi zending tak berhenti sampai di sana, Nommensen lalu mengajukan
permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah
Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon,
Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret
1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar,
Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan
Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui
Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.
Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya,
ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah
sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.
Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi
simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat
benih, meski sang penabur kelak telah tiada.
Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika
penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah usang tapi masih
berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali
didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.
Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke
arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini,
Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur.
Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru
ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun
tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.
Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan
terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon
beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah
Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia
berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini
masih dapat ditemui di sana.
Tercatat pula bahwa sejak tahun 1862 Nommesensen telah mendirikan
gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar, Parau Sorat,
Pangaloan, Sigompulon; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di
Pansur Napitu, Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di
Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di
Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan,
Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor
Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan,
Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903
di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di
Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908
di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di
Barus; 1914 di Ambarita; 1921 di Medan; dan 1922 di Jakarta.
Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja
HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending
inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam
pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat
Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan
digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari
1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar
Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas
HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih
berdiri.
Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib
Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali
menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang
di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.
Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya
yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di
Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia
telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996
Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah
kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya
menjadi “Nommensen Memorial”.
Kini, Nommensen telah tiada, tapi karyanya tetap hidup. Ia telah
menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya untuk kita (Batak).
Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu kini? Semoga…
Biodata:
Lahir : Nordstand, 6 Februari 1834
Sidi : Minggu Palmarum 1849
Pendidikan : 1857 – 1861 sekolah pendeta di Lembaga Pekabaran Injil Rhein RMG) Barmen, Jerman.
Ditahbiskan : Ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober pada 1861.
Awal penginjilan : Pada 24 Desember 1861 berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatera dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862.
Tiba di Tanah Batak : 23 Juni 1862
Jabatan penting : RMG Barmen mengangkatnya menjadi ephorus pada 1881.
Penghargaan : Gelar Honoris Causa diperoleh dari Universitas Bonn,
Jerman pada 6 Februari 1904, tepat pada ulangtahunnya yang ke-70.
Wafat : Pada 23 Mei 1918 wafat dan dikebumikan di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.
Penulis, Tonggo Simangunsong (wartawan Harian Global.)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis “Napak Tilas Dr
Ingwer Ludwig Nommensen Apostel Batak”, Januari – 16 April 2007.
Dikutip dari grup OBAMA (Orang Batak Mania)
Minggu, 02 Mei 2010
TANAH BATAK DIJAMAN NOMENSEN
Semua orang batak pasti mengenal nama Nomensen, karena sejarah gereja ditanah batak sangat berhubungan erat dengan pelayanan Nomensen. Tapi tahukah saudara seperti apakah orang batak yang bertobat pada awal berdirinya jemaat..???
Tahukah saudara bahwa orang-orang pertama yang percaya kepada Kristus dizaman pelayanan Nomensen adalah orang-orang yang haus mengenal firman Tuhan, sangat bersemangat untuk berdoa, dan sangat bersemangat untuk menceritakan Kristus kepada semua orang. Ketika mengalami Kristus dan mengenal Kristus secara pribadi, mereka begitu bersemangat untuk datang kepada saudara-saudaranya dan menceritakan Kristus yang telah mati dan bangkit untuk menyelamatkan mereka dan secara nyata menunjukkan bagaimana Kristus sudah mengubah hidup mereka. Mereka juga adalah orang yang senang belajar, senang membaca Alkitab dan mendiskusikannya
Jika melihat semangat jemaat Batak yang mula-mula, maka kita dapat belajar tentang bagaimana seharusnya kita menghargai anugerah Tuhan, bagaimana bertumbuh dan berubah menjadi serupa Kristus. Orang yang senang berperang dan “makan orang” menjadi orang yang penuh kasih, bergantung pada Allah dan melayani. Apakah saudara juga memiliki semangat kasih yang mula-mula seperti itu…??
sumber : GKI Gejayan
Perjalanan Nommensen
Perjalanan Nommensen di Tanah Batak Dipentaskan Remaja HKBP
Posted in Daerah by Redaksi on Mei 10th, 2008
Rantauprapat (SIB)
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Distrik XXVI Labuhanbatu merencanakan menggelar pesta Zending Distrik, Sabtu 10 Mei 2008 sebagai tahun Marturia. Ibadah pesta besar yang bakal dihadiri sedikitnya 3000 jemaat HKBP se-Labuhanbatu dan gereja-gereja lainnya berlangsung mulai pagi di lapangan Ika Bina Rantauprapat, dipimpin Sekjen HKBP Pdt WTP Simarmata MA.
“Apa yang mau kita lakukan adalah membangun manusia beriman melalui zending atau dakwah,†ungkap Praeses HKBP Distrik XXVI Labuhanbatu Pdt STP Siahaan MBA didampingi para panitia pesta zending distrik dan Ketua GAMKI Labuhanbatu Marisi Ulises Hasibuan SH kepada SIB, Rabu (7/5), di kantor distrik gereja tersebut di Rantauprapat.
Menurut Praeses, bila masyarakat HKBP telah beriman maka tidak akan melakukan kejahatan. Jemaat HKBP yang PNS tidak akan menyalahgunakan wewenang dan jabatannya dalam menjalankan tugas yang diemban negara atau tidak akan korupsi lagi.
“Harapan kita melalui pesta ini iman kekristenan seluruh warga HKBP semakin bertambah dan dapat memberi partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan masyarakat,†ujarnya yang diamini para panitia.
Praeses menyebutkan, tahun 2011 HKBP akan berjubileum 150 tahun. Menyambut itu, mulai tahun lalu HKBP sudah berbenah memfokuskan pelayanan bagi gereja. Tahun pertama tahun Koinonia (persekutuan) tahun 2007 lalu dilaksanakan di Sipoholon, Tarutung, tahun 2008 ditetapkan sebagai tahun Marturia, tahun 2009 tahun Diakonia, tahun 2010 evaluasi dari seluruh yang dilakukan menjadi sebuah blue print dan tahun 2011 jubileum 150 tahun HKBP tepatnya 7 Oktober 2011.
“Pesta Marturia dalam tahun 2008 ini bermaksud menggalakkan atau merevitalisasi usaha-usaha kegiatan pekabaran injil,†jelas Praeses.
Zending Distrik Labuhanbatu untuk tingkat jemaat HKBP telah dilaksanakan 1 Mei 2008. Setelah itu dilakukan pesta Zending Distrik, Sabtu (10/5).
Dalam menyemarakkan pesta Zending Distrik XXVI HKBP ini, Praeses mengharapkan kehadiran 3000 orang jemaat KHPB se Labuhanbatu dan orang-orang Kristen di Lapangan Ika Bina Rantauprapat.
Acara akan diisi dengan ibadah yang dipimpin Sekjen HKBP Pdt WTP Simarmata MA. Dalam pesta itu akan dilakukan pementasan operette perjalanan DR IL Nommensen di tanah Batak menyebarkan injil yang dibawakan para remaja dan NHKBP.
Tema pesta Zending Distrik ini mengutip nats Alkitab, Yohannes 15:16, “Aku telah menetapkan kamu supaya kamu pergi dan menghasilkan buahâ€. Pesta ini juga akan diikuti banyak kegiatan, seperti: Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di tingkat jemaat (huria) dan regional, pelatihan tenaga penginjil serta pengumpulan dana untuk usaha pekabaran injil. (S25/x)
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Distrik XXVI Labuhanbatu merencanakan menggelar pesta Zending Distrik, Sabtu 10 Mei 2008 sebagai tahun Marturia. Ibadah pesta besar yang bakal dihadiri sedikitnya 3000 jemaat HKBP se-Labuhanbatu dan gereja-gereja lainnya berlangsung mulai pagi di lapangan Ika Bina Rantauprapat, dipimpin Sekjen HKBP Pdt WTP Simarmata MA.
“Apa yang mau kita lakukan adalah membangun manusia beriman melalui zending atau dakwah,†ungkap Praeses HKBP Distrik XXVI Labuhanbatu Pdt STP Siahaan MBA didampingi para panitia pesta zending distrik dan Ketua GAMKI Labuhanbatu Marisi Ulises Hasibuan SH kepada SIB, Rabu (7/5), di kantor distrik gereja tersebut di Rantauprapat.
Menurut Praeses, bila masyarakat HKBP telah beriman maka tidak akan melakukan kejahatan. Jemaat HKBP yang PNS tidak akan menyalahgunakan wewenang dan jabatannya dalam menjalankan tugas yang diemban negara atau tidak akan korupsi lagi.
“Harapan kita melalui pesta ini iman kekristenan seluruh warga HKBP semakin bertambah dan dapat memberi partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan masyarakat,†ujarnya yang diamini para panitia.
Praeses menyebutkan, tahun 2011 HKBP akan berjubileum 150 tahun. Menyambut itu, mulai tahun lalu HKBP sudah berbenah memfokuskan pelayanan bagi gereja. Tahun pertama tahun Koinonia (persekutuan) tahun 2007 lalu dilaksanakan di Sipoholon, Tarutung, tahun 2008 ditetapkan sebagai tahun Marturia, tahun 2009 tahun Diakonia, tahun 2010 evaluasi dari seluruh yang dilakukan menjadi sebuah blue print dan tahun 2011 jubileum 150 tahun HKBP tepatnya 7 Oktober 2011.
“Pesta Marturia dalam tahun 2008 ini bermaksud menggalakkan atau merevitalisasi usaha-usaha kegiatan pekabaran injil,†jelas Praeses.
Zending Distrik Labuhanbatu untuk tingkat jemaat HKBP telah dilaksanakan 1 Mei 2008. Setelah itu dilakukan pesta Zending Distrik, Sabtu (10/5).
Dalam menyemarakkan pesta Zending Distrik XXVI HKBP ini, Praeses mengharapkan kehadiran 3000 orang jemaat KHPB se Labuhanbatu dan orang-orang Kristen di Lapangan Ika Bina Rantauprapat.
Acara akan diisi dengan ibadah yang dipimpin Sekjen HKBP Pdt WTP Simarmata MA. Dalam pesta itu akan dilakukan pementasan operette perjalanan DR IL Nommensen di tanah Batak menyebarkan injil yang dibawakan para remaja dan NHKBP.
Tema pesta Zending Distrik ini mengutip nats Alkitab, Yohannes 15:16, “Aku telah menetapkan kamu supaya kamu pergi dan menghasilkan buahâ€. Pesta ini juga akan diikuti banyak kegiatan, seperti: Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di tingkat jemaat (huria) dan regional, pelatihan tenaga penginjil serta pengumpulan dana untuk usaha pekabaran injil. (S25/x)
Kamis, 29 April 2010
Cerita Anak si Ikan
"Dasar kau si anak ikan!"
Tiba-tiba
Bumi berguncang keras. Gempa bumi besar mengguncang tanah pegunungan
itu. Tanah retak merekah memanjang. Segera air menyembur keluar tiada
henti-hentinya dari rekahan-rekahan tanah dan batuan. Di atas, mendung
gelap menggantung berat di langit pekat. Petir menyambar bumi dengan
suaranya yang menggetarkan hati. Hujan pun turun dengan deras
terus-menerus. Si Toba baru tersadar, umpatan kepada anaknya Samosir
telah membuka rahasia yang seharusnya dijaga ketat tentang asal-usul
isterinya yang tadinya ikan besar cantik yang dulu didapatnya.
Penyesalan
datang kemudian. Air segera menggenangi lembah tempat si Toba berada
dan menenggelamkannya. Begitulah balasan atas ketidaksabaran mengurus
anak mereka Samosir yang memang nakal dan rakus makan. Samosir, atas
perintah ibunya yang kembali berubah menjadi ikan, berhasil selamat
mendaki bukit. Lembah yang tergenang luas itu kemudian berubah menjadi
danau, Tao Toba. Bukit tempat Samosir menyelamatkan diri menjadi Pulau
Samosir.
Demikianlah
legenda Danau Toba yang dikenal pada cerita anak-anak Nusantara. Moral
cerita mengingatkan kita untuk selalu sabar mengurus anak dan menjaga
kehormatan rumah tangga. Tetapi di balik itu tersirat peristiwa alam
yang luar biasa tentang pembentukan Danau Toba. Secara geologis sudah
dikenal luas bagaimana danau terluas di Indonesia ini terbentuk melalui
peristiwa paroksismalis antara aktifitas pergerakan lempeng tektonik
dan letusan-letusan volkanik.
Supervolcano Toba
Jauh
dari Toba, di lapisan es yang dingin membeku di Greenland dekat Kutub
Utara, pada awal dekade 1970 para ahli geologi glasial dan
paleoklimatologi terheran-heran mendapati inti pengeboran es mengandung
anomali endapan sulfat yang pasti berkaitan dengan endapan abu gunung
api. Ribuan gunung api tersebar di atas Bumi, gunung api manakah yang
endapan abunya tersebar hingga Kutub Utara? Hasil penelitian menemukan
data yang mencengangkan. Clive Oppenheimer pada 2002 menyatakan anomali
tersebut berhubungan dengan abu gunung api yang diendapkan oleh suatu
kejadian letusan volkanik 74.000 tahun yang lalu. Endapan dengan umur
sama yang lebih tebal dijumpai dari hasil pengeboran dasar laut di
Samudera Hindia dan Laut Arab selama akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Semuanya ternyata berumur setara dengan endapan berwarna putih yang
tersebar luas di dataran-dataran tinggi sekeliling Danau Toba. Itulah
yang dikenal sebagai tuf Toba (Toba tuffs).
Di
jaman prasejarah, 74.000 tahun yang lalu, diperkirakan suatu rangkaian
letusan gunung api yang dahsyat telah terjadi di sepanjang retakan pada
batas-batas timur laut dan barat daya Danau Toba. R.W. van Bemmelen,
seorang ahli geologi Belanda - yang bukunya "The Geology of Indonesia,
1949" selalu menjadi rujukan geologi Indonesia - pada 1929 dan 1939
mengemukakan hipotesis terbentuknya Danau Toba. Menurutnya, suatu
pembumbungan bagian tengah Sumatera Utara yang dikenal sebagai "tumor
Batak" menjadi cikal bakal terbentuknya Danau Toba. Tumor itu meletus
luar biasa dahsyat, gabungan antara proses-proses volkanik dan
tektonik, menyebabkan amblesnya bagian tengah tumor tersebut membentuk
cekungan memanjang barat laut - tenggara, serarah memanjang Pulau
Sumatera, dan juga searah dengan Sesar Besar Sumatera dan Pegunungan
Bukitbarisan. Proses itu juga menyebabkan "terungkitnya" sebagian dari
amblesan, terangkat naik dengan posisi miring ke arah barat daya,
membentuk Pulau Samosir.
Pendapat
Bemmelen yang telah bertahan begitu lama sejak 1929 itu akhirnya
terbantahkan oleh penelitian geomorfologi yang dikerjakan oleh
Verstappen selama 1961 - 1973. Ia mendapati adanya teras-teras
struktural di ngarai-ngarai terjal Sei Asahan di Siguragura yang di
atasnya terendapkan tuf Toba. Hal itu menunjukkan bahwa Sei Asahan
telah terbentuk jauh sebelum letusan dahsyat Toba menurut Bemmelen pada
1929. Artinya, ada kemungkinan cekungan Toba telah ada sebelum letusan
supervolcano, atau apa yang dikenalkan oleh Bemmelen sebagai letusan
volkano-tektonik. Letusan-letusan besar itu terjadi pada gunung-gunung
api yang kemungkinan terjadi pada retakan-retakan dan sesar-sesar yang
mengapit gawir-gawir terjal lembah Danau Toba.
Letusan-letusan
besar paroksismal menyemburkan abu-abunya hingga ke lapisan-lapisan
stratosfer dan disebarkan ke seluruh permukaan Bumi. Endapan tebal
tentu saja jatuh di sekitar pusat letusan di sekitar Danau Toba,
menghasilkan tuf Toba, batuan berwarna putih dengan butiran-butiran
gelas volkanik, fragmen kuarsa, dan matriks gelas berukuran lempung.
Kejadian itu tidak berlangsung dalam satu kali saja. Hasil penelitian
stratigrafi lapisan tuf Toba dan pengukuran umur absolutnya,
menunjukkan adanya lapisan-lapisan tuf hasil letusan sekitar 74.000,
450.000, 840.000, dan 1,2 juta tahun yang lalu, menghasilkan perulangan
375.000 tahun dengan deviasi standar 15.000 tahun (Chesner et al. 1991
dan Dehn et al. 1991, dalam Rampino & Self, 1993).
Rampino
dan Self (1993) mencurigai bahwa letusan supervolcano Toba telah
menghasilkan letusan abu gunung api sebesar 2.800 km3 setinggi 40 km ke
angkasa yang kemudian dapat menyebabkan pendinginan permukaan Bumi
secara tiba-tiba. Rampino dan peneliti lainnya menyebut gejala
pendinginan global itu sebagai "volcanic winter". Suhu Bumi rata-rata
turun 3 - 5oC. Besar kemungkinan letusan 74.000 tahun yang lalu
mempengaruhi penghuni Bumi dan manusia saat itu. Secara global
diketahui adanya gejala populasi leher botol berkaitan dengan menurun
secara drastisnya populasi manusia bertepatan pada waktu 74.000 tahun
yang lalu. Di Nusantara, dengan bukti-bukti fosil yang ditemukan di
Pulau Jawa, Homo erectus, dan jenis manusia yang lebih modern seperti
Manusia Wajak, besar kemungkinan merasakan pengaruh besar letusan
dahsyat Toba. Memang, belum ada bukti kuat fenomena Toba menyebabkan
kepunahan spesies manusia, tetapi pengaruh perubahan iklim dipastikan
mengubah pola kehidupan mereka.
Contoh
terdekat perubahan iklim global akibat letusan gunung api adalah
setelah letusan Krakatau 1883, dan terutama letusan Tambora pada April
1815 yang 10 kali lebih dahsyat daripada Krakatau 1883. Letusan itu
telah menyebabkan suatu fenomena aneh yaitu turunnya salju di bulan
Juli di Eropa, sehingga tahun 1815 dijuluki "the year without summer."
Tahun-tahun setelah itu menyebabkan kegagalan panen di seluruh dunia
akibat kekacauan iklim global.
Awal
2005, suatu pendapat yang akhirnya diakui salah kutip oleh peneliti
dari Monash University Australia, Raymond Cas, menyatakan adanya massa
magma raksasa di bawah Danau Toba yang siap meletus sebagai
supervolcano. Pendapat yang membuat panik ini segera dibantah banyak
ahli. Sekalipun massa magma itu memang ada, tetapi letusan dahsyat
tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tentu saja kita tidak berharap
adanya letusan paroksismal dari supervolcano Toba, sekalipun fenomena
itu dapat menghentikan gejala pemanasan global yang terjadi akhir-akhir
ini.
Citra SRTM Sumatera Utara dengan lokasi-lokasi penting yang dirujuk pada tulisan ini
Dalam
Ekspedisi Geografi Indonesia VI 2009 di Provinsi Sumatera Utara, tuf
Toba teramati ketika sebagian tim memasuki suatu kawasan eksklusif di
tepi Danau Toba di Merek yang bernama Taman Simalem Resort. Tempat
tersebut berdisain mewah dan apik, dengan suatu plaza persis menghadap
ke arah indahnya Danau Toba bagian barat laut. Tempat yang tadinya
berstatus hutan lindung itu telah disulap menjadi kawasan wisata mahal,
termasuk pembangunan vihara yang sedang dalam tahap penyelesaian.
Lereng-lereng
terjadi pada plateau Toba di Merek dipotong dan ditimbun (cut and fill)
menjadi pola jalan berliku-liku menghasilkan pemandangan yang eksotis.
Vihara ditempatkan di salah satu ujung tanjung dan diapit oleh
lereng-lereng terjal. Di sinilah persoalan akan muncul. Lereng-lereng
terjal yang didominasi oleh tuf Toba bersifat gembur dan berpasir,
serta mudah mengalami denudasi. Gejala-gejala erosi dan longsoran sudah
mulai terlihat. Pengembang kelihatan mengerti benar permasalahan yang
akan dihadapi. Beberapa dinding penahan dan bronjong batu telah
dibangun untuk menahan ketidakstabilan lereng-lerengnya. Pemeliharaan
yang nantinya terus-menerus harus terkontrol sehingga akan sangat mahal.
Lain
lagi singkapan tuf Toba pada jalan ke arah Sidikalang, melalui Sumbul.
Sumbul terletak persis pada garis morfologi memanjang barat laut -
tenggara sebagai ekspresi Sesar Besar Sumatera. Garis ini ditempati
oleh aliran Lau Renun yang menoreh tajam lembah sungainya. Di lereng
Lau Renun yang terjal, tuf Toba yang keras digali sebagai batu bahan
fondasi. Sementara itu pada arah yang jauh berseberangan di
Doloksanggul - Onanganjang, sebagian besar batuan tuf telah mengalami
alterasi. Tanah berwarna kuning, jingga, dan merah menghiasi
pinggir-pinggir jalan akibat pengaruh larutan sisa magma pada proses
lanjut.
Di Pulau
Samosir, tuf Toba yang keras menjadi artefak-artefak peninggalan
kerajaan-kerajaan kuno Batak berupa kursi-kursi dan meja altar tempat
penyiksaan musuh yang tertawan. Batu-batu kursi tersebut sangat
terkenal sebagai objek wisata di Siallagan, Kecamatan Simanindo. Batu
tuf keras juga menjadi sarkofagus, tempat menyimpan mayat raja-raja
Sidabutar di Tomok, atau patung-patung berhala. Tuf Toba yang saat
diletuskan menghancurkan ekosistem sekitarnya, jauh setelah itu
ternyata ikut berperan di dalam perkembangan kebudayaan
kerajaan-kerajaan Batak tua di sekitar Danau Toba dan Samosir.
Tingkat
kekerasan tinggi batuan tuf Toba tidak hanya dijumpai di lereng Lau
Renun, Sidikalang, Kabupaten Dairi, atau di Pulau Samosir, tetapi juga
tercermin dari air terjun sangat tinggi dan vertikal Sipisopiso di
Merek. Apalagi di sepanjang lereng-lereng sangat terjal di ngarai Sei
Asahan antara Siguragura dan Tangga, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba
Samosir, batuan tuf Toba selintas tampak seperti granit yang perlu
beberapa kali pukulan kuat dengan palu geologi untuk memecahkannya.
Sei
Asahan sebagai sungai drainase dan tempat keluarnya air Danau Toba yang
maksimum berpermukaan 905 m dpl, menggerus secara vertikal dan dalam
batuan tuf Toba mengikuti pola-pola retakan tektonik. Anak-anak
sungainya masuk ke lembah Asahan sebagai air terjun yang tinggi,
menguraikan airnya menjadi embun ketika jatuh menuruni dinding ngarai
yang tegak. Aliran Sei Asahan mengarah ke timur laut untuk kemudian
berubah menjadi sungai besar di Perhitian, Halado, setelah seluruh
airnya keluar dari terowongan PLTA Tangga. Akhirnya sungai ini mengalir
bermeander di dataran pantai timur Sumatera Utara, untuk kemudian
bermuara sebagai sungai distributary yang berliku-liku pada lingkungan
delta di Teluk Nibung, Tanjungbalai. Tempat ini merupakan pelabuhan
ramai yang menjadi pintu perairan Selat Malaka bagi kapal-kapal menuju
Selangor, Malaysia.
Empat
lembar peta geologi di sekitar Danau Toba memetakan dengan jelas
sebaran tuf Toba ini (Aldiss dkk. 1983, Aspden dkk. 2007, Cameron dkk.
1982, dan Clarke dkk. 1982). Tuf Toba tersebar jauh ke arah utara, dan
dijumpai hingga Pematangsiantar, bahkan mencapai Tebingtinggi. Tidak
perlu heran. Jika di tengah-tengah Samudera Hindia saja didapati
endapan tuf Toba, jarak ke Tebingtinggi hanyalah jangkauan tidak
seberapa bagi suatu letusan super-dahsyat. Ke arah selatan, tuf
mengendap mengisi perbukitan dan lembah sepanjang Pegunungan
Bukitbarisan sejak Sidikalang di barat laut hingga Tarutung dan Sipirok
di tenggara dan selatan.
Tarutung
adalah kota kecil yang sangat dikenal oleh para peneliti ilmu kebumian,
khususnya yang berkecimpung dalam bidang bencana gempa bumi. Tempat
yang dalam bahasa Batak berarti "durian" ini pernah diguncang gempa
bumi merusak 6,6 skala Richter pada 27 April 1987. Memang jalur di
Bukitbarisan itu adalah jalur retakan dan patahan aktif sepanjang Pulau
Sumatera, mulai dari Teluk Semangko di Lampung, menerus ke utara
melalui Bengkulu, Kerinci di Jambi, Danau Singkarak dan Padangpanjang
di Sumatera Barat, Tarutung - Sidikalang di Sumatera Utara, hingga
Bandaaceh.
Ciri
morfologi lembah dan perbukitan memanjang sebagai hasil kegiatan
tektonik aktif, tampak jelas di Tarutung, tempat Aek Sigeaon mengalir
di sepanjang lembah. Kegiatan tektonik aktif yang menghancurkan
kekuatan batuan juga mempengaruhi kondisi jalan antara Tarutung dan
Sipirok. Di Aek Latong, ruas jalan selalu ambles. Selain karena berada
pada jalur sesar aktif, ditambah lagi ada pengaruh batu lempung yang
mudah hancur dan rawan longsor.
Retakan-retakan yang terbentuk di sepanjang lembah ini juga menjadi jalan bagi keluarnya air panas. Mata air panas Sipoholon dekat Tarutung yang terukur bersuhu 63,8oC menjadi tempat wisata yang ramai. Air panas Sipoholon keluar dari celah-celah batuan dan menembus tuf Toba. Endapan travertin yang terbentuk akibat air panas menerobos tuf Toba menghasilkan endapan dengan pola-pola yang menarik, berupa bentukan stalaktit dan stalagmit, serta teras-teras endapan travertin.
Retakan-retakan yang terbentuk di sepanjang lembah ini juga menjadi jalan bagi keluarnya air panas. Mata air panas Sipoholon dekat Tarutung yang terukur bersuhu 63,8oC menjadi tempat wisata yang ramai. Air panas Sipoholon keluar dari celah-celah batuan dan menembus tuf Toba. Endapan travertin yang terbentuk akibat air panas menerobos tuf Toba menghasilkan endapan dengan pola-pola yang menarik, berupa bentukan stalaktit dan stalagmit, serta teras-teras endapan travertin.
Ke
arah tenggara masih dijumpai mata air dengan gelembung-gelembung udara
dengan rasa sedikit asam sehingga penduduk menamakannya "air soda" di
Parbubu. Suhu air secara umum relatif hangat, yaitu 31,5oC. Tetapi
karena suhu udara juga cukup panas (30,7oC), air soda Parbubu terasa
dingin ketika disentuh. Makin ke tenggara, di Sipirok, dijumpai pula
mata air panas di Aek Milas Sosopan yang dimanfaatkan oleh masjid
setempat sebagai air wudlu. Aek Milas dalam bahasa Batak Sipirok memang
berarti "air panas."
Mata
air panas di sepanjang Tarutung - Sipirok merupakan mata air panas yang
terjadi akibat patahan, sekalipun sumber air panasnya diperkirakan
berasal dari sumber-sumber magmatis juga. Hal itu berbeda dengan air
panas bersuhu 47,3oC yang terasa ngilu di gigi karena ber-pH sangat
asam di Aek Rangat yang terletak di lereng G. Pusukbuhit, dekat Pulau
Samosir. Air panas di Aek Rangat sangat jelas berkaitan langsung dengan
aktifitas gunung api Pusukbuhit, sama halnya dengan air panas yang juga
muncul di Lau Sidebukdebuk, dari lereng G. Sibayak, Tanah Karo
Tanah Batak yang Indah
Pada
akhir perjalanan ekspedisi menjelajah Danau Toba dengan sejarah
letusannya yang luar biasa serta produk-produk tufnya yang tersebar
luas, kesan yang didapat adalah keterpesonaan akan bentang alam yang
terbentuk akibat proses-proses alam, proses-proses geologis, tektonik
dan volkanik yang berlangsung berribu-ribu tahun. Danau, plateau,
gunung, perbukitan, lembah, dan sungai, serta hutan, perkebunan dan
masyarakatnya, seluruhnya menyusun alam Sumatera Utara menjadi suatu
harmoni alam yang indah. Sangat cocok sekali arti Tapanuli sebagai
tapian nauli, daratan yang indah. Jangankan pendatang dari luar yang
menjelajah hanya 10 hari di Sumatera Utara, penduduk asli Batak pun
masih selalu terkagum-kagum dengan tanah kelahiran mereka.
Bagaimana
cintanya orang Batak terhadap tanah kelahirannya, selalu dimisalkan
ketika seorang Batak menyanyikan lagu "O Tano Batak" (1933) yang
ditulis oleh S. Dis (Siddik Sitompul, 1904 - 1974) dengan sebagian
liriknya sebagai berikut:
O Tano Batak halolonganhu...
O Tano Batak sinaeng hutahap,
dapot honon hu, tano hagodangan hi
(Oh Tanah Batak yang selalu kurindukan...Oh Tanah Batak yang selalu kutatap, kuingin selalu pulang kampung ke tanah kelahiran).
O Tano Batak sinaeng hutahap,
dapot honon hu, tano hagodangan hi
(Oh Tanah Batak yang selalu kurindukan...Oh Tanah Batak yang selalu kutatap, kuingin selalu pulang kampung ke tanah kelahiran).
Seberapa
keras watak orang Batak, matanya akan berkaca-kaca, bahkan mungkin
menangis tersedu-sedu, saat menyanyikan lagu tersebut. Apalagi ketika
datangnya perasaan rindu kampung halaman saat sedang jauh merantau.
O Tano Batak, aku pun selalu ingin kembali menikmati keindahanmu...
O Tano Batak, aku pun selalu ingin kembali menikmati keindahanmu...
Pustaka
- Aldiss, D.T., S.A. R. Whandojo, Sjaefudien A.G., and Kusjono (1983), Geologic Map of the Sidikalang Quadrangle, Sumatra 0618, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
- Aspden, J.A., W. Kartawa, D.T. Aldiss, A. Djunuddin, D. Diatma, M.C.G. Clarke, R. Whandoyo, and H. Harahap (2007), Geologic Map of the Padangsidempuan and Sibolga Quadrangle, Sumatra 0717, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
- Bemmelen, R.W. van (1949), The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff, The Hague, The Netherlands.
- Cameron, N.R., J.A. Aspden, D. McC Bridge, A. Djunuddin, S.A. Ghazali, H. Harahap, Hariwidjaja, S. Johari, W. Kartawa, W. Keats, H. Ngabito, N.M.S. Rock and R. Whandoyo (1982), Geologic Map of the Medan Quadrangle, Sumatra 0619, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
- Clarke, M.C.G., S.A. Ghazali, H. Harahap, Kusyono, and B. Stephenson (1982), Geologic Map of the Pematangsiantar Quadrangle 0718 Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
- Oppenheimer, C. (2002), Limited Global Change Due to the Largest Quaternary Eruption Toba 74kyr BP, Quat. Sci. Rev. 21 (14-15), pp. 1593-1609.
- Rampino, M.R., dan S. Self (1993), Climate-Volcanism Feedback and the Toba Eruption of ~ 74,000 Years Ago, Quaternary Research, Vol. 40, pp. 269-280.
- Verstappen, H.Th. (2000), Outline of the Geomorphology of Indonesia, A Case Study on Tropical Geomorphology of a Tectogene Region, ITC, Enschede, the Netherlands.
Rabu, 28 April 2010
Koraan di Masa Kolonial Belanda
Peran pers pada masa zaman kolonial Belanda sangat penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia . Ini dilihat dari banyaknya koran yang bermunculan sebelum Indonesia
merdeka, khususnya di Sumatera Utara. Dari data yang diperoleh,
tercatat lebih dari 133 koran yang pernah terbit di Sumatera Utara pada
waktu itu. Bahkan koran pertama di Indonesia yang berani menggunakan kata merdeka sebagai nama koran adalah benih merdeka yang terbit di Medan Tahun 1916.
Ketua
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Unimed, Ichwan Azhari pada acara
pembukaan pameran pers zaman kolonial Belanda di Sumatera Utara kemarin
pagi mengatakan bahwa banyaknya koran yang terbit di masa kolonial
tersebut tidak pernah dimasukkan ke dalam sejarah perjuangan Bangsa
Indonesia.
Ichwan juga mengatakan bahwa pers di Sumatera Utara memiliki peranan yang penting dalam era pergerakan mewujudkan Indonesia , namun belum pernah tercatat dalam buku sejarah nasional, hal ini dikarenakan tidak adanya kesadaran sejarah pada waktu itu.
Dalam
kegiatan tersebut dipamerkan beberapa koran terbitan Medan Tahun 1884
sampai Tahun 1942, seperti Koran Anak Batak terbitan Sibolga Tahun
1927, Suara Batak terbitan Tarutung Tahun 1928, Endracht Sahora Tahun
1933 dan memamerkan benda-benda peninggalan sejarah kolonial lainnya.
Selasa, 27 April 2010
Benda Budaya Pusaka Batak, Hampir Punah...
Benda-benda budaya pusaka merupakan salah satu daya tarik wisatawan untuk datang ke suatu daerah. Namun disayangkan benda budaya pusaka Batak banyak yang diperjualbelikan dengan harga yang relatif tinggi hingga mencapai jutaan rupiah. Sebagian besar warisan nenek moyang ini tidak terawat dan terkesan diabaikan.
Wisatawan pada umumnya dapat dianggap seperti antropolog dan sosiolog amatiran, mereka datang mengunjungi obyek wisata karena tertarik akan kombinasi faktor alam dan kebudayaan.
Dalam hal ini wisatawan selain menikmati keindahan alam juga ingin
menambah pengetahuannya dalam hal sosio kultural yang merupakan
spesifikasi sesuatu daerah yang mungkin tidak dimiliki daerah yang lain
seperti nilai-nilai budaya, adat istiadat, ritual agama, kesenian,
artifak, arsitektur dan lain-lain yang bersifat local genius.
Dalam
hal menarik minat wisatawan, Tanah Batak memiliki kekayaan benda budaya
pusaka peninggalan sejarah nenek moyang. Beberapa jenis benda sejarah
yang cukup dikenal pada zaman berburu dan meramu (zaman Pleistocen
1.500.000-19.000 -- zaman Holecein 10.000-3.000 SM) adalah Sior, alat
yang dipakai suku Batak Toba dalam memanah binatang. Sumpitan digunakan
pada zaman berburu untuk menembak binatang.
Curu-curu sebagai tempat kemenyan suku Batak Pakpak, Dairi dalam mengumpulkan bahan makanan dengan cara meramu dalam mempertahankan hidup. Selain itu Tali Tolang sebagai tali untuk memanjat pohon enau.
Dalam
memburu binatang besar biasanya masyarakat menggunakan lembing,
perangkap, jerat dan bedil. Sementara untuk binatang kecil menggunakan
panah, sumpitan, jaring dan pemulut (Pikat dan getah).
Kebiasaan
meramu dan berburu hingga sekarang masih menjadi pekerjaan sambilan
suku Batak Toba di pedesaan. Sehingga meski jarang ditemui, benda-
benda sejarah ini masih ada yang disimpan oleh penduduk di pedesaan
sampai sekarang.
Miliki Nilai Sejarah Yang Tinggi
Sebelum pengaruh asing masuk ke Sumatera Utara (Sumut) masyarakat masih menggunakan sistem barter dalam perdagangan. Saling tukar menukar antar hasil bumi dan barang-barang penduduk dengan suku pendatang. Alat pengukur setiap suku atau daerah hampir bersamaan yaitu takaran yang dibuat dari bambu atau kayu yang disebut Solup (Batak Toba) dan Tumba (Batak Karo) untuk mengukur padi, beras dan kacang.
Rupanya
pada zaman prasejarah masyarakat Batak Toba sudah memiliki keahlian
dalam membuat peralatan rumah tangga dari kayu, rotan dan bambu.
Perabot rumah tangga ini terdiri dari kursi, meja dan lemari.
Benda-benda kerajinan/anyaman terdiri dari bambu dan rotan. Dasar
anyaman umumnya menggunakan pola silang antara fungsi vertikal dan
horizontal. Ragam hiasaan umumnya diambil dari motip flora dan fauna.
Salah satu karya kerajinan jenis ini masih ditemui pada Kampil (Tempat sirih) Batak Karo.
Benda-benda
lain peninggalan nenek moyang Batak Toba adalah benda-benda menanak
nasi, alat-alat dapur, peralatan masak dan dapur yang sudah jarang
ditemui. Benda pusaka ini malah ada yang diperjualbelikan sampai jutaan
rupiah karena bentuknya yang kecil dan unik. Biasanya yang menampung
benda pusaka ini adalah para kolektor yang tersebar di penjuru tanah
air.
Menurut
salah seorang kolektor yang suka membeli benda pusaka budaya Batak
Toba, benda-benda sejarah Batak memiliki nilai seni yang cukup tinggi.
Selain unik, katanya, benda bersejarah ini sangat cocok dijadikan
koleksi. “Itu sebabnya saya pernah membeli satu buah Hudon Tano (Periuk
tanah) dan Harpe (Alas periuk) masing-masing senilai lima juta rupiah dari seorang warga di Samosir,” akunya pada Penulis namun enggan menyebut namanya.
Pada
bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis
geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut
adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan
lambang kesatuan. Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut
Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri
disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk.
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu
pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan
untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang
berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran
saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah.
Pengamatan Penulis disejumlah daerah di Tanah Batak tentang keberadaan warisan rumah adat nenek moyang suku Batak Toba menunjukkan bahwa sudah banyak yang tidak
terawat dan terkesan diabaikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.
Sehingga keberadaan rumah Bolon sudah terancam punah.
“Mungkin sepuluh tahun
ke depan, kita tidak akan melihat lagi rumah Bolon yang berdiri secara
utuh di kampung Batak bila Pemerintah daerah (Pemda) tidak segera
berperan untuk mengkonservasi warisan nenek moyang. Padahal rumah Bolon
memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk menjadi daya tarik
wisatawan,”ujar seorang Tokoh Adat Batak Toba bermarga Simbolon.
Menurut
Simbolon, salah satu upaya untuk mengkonservasi rumah Bolon adalah
dengan merawat dan menjaga keadaan rumah Bolon tetap baik dengan
melibatkan masyarakat setempat agar tujuan konservasi berhasil.
Menjaga kelestarian benda budaya Batak
Selain peran Pemerintah daerah dalam mengkonservasi benda budaya dan melibatkan peran masyarakat setempat agar tujuan konservasi berhasil, maka menurut salah seorang Antropologi
Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Dra Hernauli Sipayung,
menyarankan agar benda budaya pusaka yang masih dimiliki masyarakat
agar diserahkan ke Museum untuk dikonservasi.
Maksudnya
agar pihak museum yang merawat benda-benda ini agar tidak punah.
Terutama benda pusaka yang hampir punah dan memiliki nilai sejarah yang
tinggi, sebaiknya segera diserahkan ke museum. "Sebab dalam
mengkonservasi benda-benda bersejarah ini diperlukan ketelitian dan
kepedulian yang tinggi," ujar Hernauli yang merupakan Kepala Bidang
Konservasi Museum Sumatera Utara ini.
Mendaki Gunung Sibayak....... ayo kita daki
Panorama di puncak gunung Sinabung tidak kalah indahnya, puncak kedua tertinggi di Sumatera utara (SUMUT) itu mempunyai ketinggian 2.451 m.dpl. Salah satu gunung berapi yang terletak di Propinsi Sumatera Utara ini, berkakikan sebuah danau yakni danau Lau Kawar.
Danau
Lau Kawar memiliki pesona alam yang begitu memukau apalagi danau itu
bagai dijaga puncak Lancuk. Lancuk adalah salah satu puncak tinggi Karo
yang bertetangga dengan gunung Sinabung. Gunung Sinabung merupakan
gunung api dengan tipe Strato atau berlapis.
Mendaki
gunung Sinabung merupakan pilihan yang tepat untuk menghilangkan
kejenuhan. Sepanjang pendakian menuju puncak masih ditemukan hutan
tropis yang indah alami. Hamparan ladang penduduk yang ditumbuhi sayur,
buah dan bunga-bungaan yang berwarna-warni.
Dalam perjalanan di hutan, kita juga akan merasakan bau khas daun-daun dan pepohonan yang akan ditemui didalam hutan tropis. Selain itu, kita akan mendengar kicauan burung-burung yang begitu mengoda kita untuk mengamatinya lebih dekat dengan mengunakan teropong (binocular). Hampir mencapai puncak akan melalui tantangan berat jalan setapak bebatuan yang kiri-kanan jurangnya cukup curam.
Gunung
yang memiliki lembah terukir indah dari satu punggungan ke punggungan
lain, memiliki salah satu puncak yang paling menantang yakni, puncak
Batu Segal. Dikabarkan nama "Batu segal" diberikan oleh Tetua Karo
disekitar kaki gunung. Puncak ini berbentuk pilar batu yang menjulang
tinggi.
Belum
lagi pesona kawah Sinabung setia memuntahkan uap panas. Kawah itu
bernama, Kawah Batu Sigala. Kabarnya kawah itu menyimpan sejuta misteri
yang tak terungkap sampai kini. Sementara di bagian puncak cukup luas
dan terjal.
Sebelah timurnya puncak terlihat keindahan Danau toba dan kota Medan
dikejauhan. Sebelah baratnya, keindahan danau lau kawar dan hamparan
rumah penduduk disekitar kaki gunung. Dari puncak terlihat perawakan
gunung Sibayak dan jejeran pengunungan Bukit barisan yang indah. Berada
di puncak biasanya suhu rata-rata 15 derajat celcius.
Status Gunung Sinabung
Secara
administratif gunung sinabung termasuk dalam Propinsi Sumatera Utara,
kabupaten Karo yang terletak di kecamatan Simpang empat. Gunung yang
berkaki danau itu masih tergabung dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Hutan yang dimiliki oleh gunung sinabung merupakan hutan lindung berupa
hutan alam pengunungan yang tergabung dalam Tahura Bukit Barisan (BB).
Danau Lau Kawar
Berkemah
sambil bergitar mengelilingi api unggun di tepi danau pada malam hari,
adalah acara menarik untuk melepaskan lelah selepas mendaki. Seusai
makan malam setelah mendirikan tenda, Pendaki biasanya menyempatkan
diri untuk berbincang-bincang dan menjalin keakraban dengan sesama pendaki di tepi danau kawar sambil bersenda gurau.
Sambil
merasakan sejuknya udara pengunungan dan dinginnya udara malam disana
pendaki saling menceritakan pengalamannya selama mendaki. Selain
mendaki, biasanya para pengunjung datang hanya sekedar camping,
memancing dan membakar ikan. Kegiatan ini dilakoni mereka untuk
melepaskan stress dan kabur dari rutinitas yang mengekang kehidupan
mereka sehari-hari.
Danau
yang airnya jernih itu, sering pula dimanfaatkan oleh pengunjung untuk
mencuci piring bekas sisa -sisa makanan sehabis camping, menyuci
kenderaan, dan membersihkan diri sehabis mendaki. Berada di kaki gunung
sambil memandang keindahan danau dan puncak Lancuk diseberang,
keindahan alam terpancar tiada tara .
Kemegahan
puncak Lancuk punya keindahan tersendiri dari enam puncak Karo lainnya.
Keindahan Lancuk menyimpan sejuta pesona yang menyatu dengan alam
disekitarnya. Bilamana bernasib baik, pada sore hari yang cerah dapat
dinikmati sunset (Matahari terbenam) dari tepi danau.
Route pendakian Gunung Sinabung
Pendakian dari tepian danau kawar atau desa Sigarang-gara ke puncak, memakan waktu kurang lebih empat jam. Jarak dari kota Berastagi ke
lokasi titik awal pendakian gunung sinabung di desa Lau Kawar kira-kira
27 km. Dari kota Medan dapat naik Bus trayek Medan – Kabanjahe seperti
bus Sinabung Jaya, Sutra dan Serasi Borneo dengan ongkos sekitar Rp. 10
- 12 Ribu untuk satu kali perjalanan (Update bulan November 2008).
Sampai di kota Brastagi atau di kota Kabanjahe turun lalu mengganti bus jurusan lau kawar mengunakan angkutan pedesaan.
Pendakian dari jalur Danau kita akan merasakan arti berpetualang yang sebenarnya. Pendakian dari jalur itu melalui medan
cukup terjal dan curam. Namun pendakian dari desa Mardinding ke puncak
Sinabung jarang dilalui pendaki. Kalo seandainya melalui jalur itu,
dapat ditempuh dari kota Kabanjahe di terminal bus Tugu, dari sana mengendarai bus ke desa Mardinding.
Route perjalanan sekitar 3 - 6 jam (tergantung dari kondisi fisik)
untuk sampai di puncak dan agak susah untuk mencari air diperjalanan,
disarankan untuk membawa air dari desa Mardinding. Kondisi perjalanan
tidak terlalu curam, hanya saja sewaktu kita melewati cadas harus
berhati-hati karena kiri – kanan jalan terdapat jurang. Begitu juga
dengan jalur desa Sigarang-garang tidak jauh berbeda. Selamat Mendaki.....
Jumat, 21 November 2008
Satu Kaki Taklukkan Gunung Sibayak
Menjadi
laki-laki cacat tidak menyurutkan langkahnya untuk berpetualang
mengelilingi dunia. Menggunakan mountain bike (sepeda gunung, red) dengan kayuhan satu kaki, Imam Sudjoko memulai perjalanannya kembali mengelilingi Indonesia pada 2 November 2006.
Nama
Imam Sudjoko pertama kali tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI)
pada tahun 1999. Empat tahun kemudian, tepatnya 2003, kembali Imam
menorehkan prestasi dan tercatat di MURI. Begitu pula tahun 2005. Kini, prestasi yang pernah diraihnya diulangi pada tahun 2007.
Dalam petualangnya kelahiran Kediri 30 Maret 1968 yang sudah 3 kali masuk rekor MURI ini, tidak pernah patah semangat menaklukkan puncak gunung daerah yang dilaluinya meski hanya ditemani tongkat kayu kesayangannya.
Ia cacat karena kehilangan satu anggota badan saat mengalami kecelakaan kerja di Bogor pada tahun 1994 yang mengakibatkan kaki sebelah kirinya harus diamputasi.
Ia pernah tercatat menaklukkan puncak gunung
Fujiyama di Jepang beberapa tahun lalu. Menaklukkan puncak Jaya Wijaya
di Papua tahun 2006 yang perjalanannya disiarkan oleh Metro TV. Pendaki gunung yang merupakan warga
kaki gunung Semeru tepatnya di Desa Taman Ayu, Kecamatan Pronowidjo,
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ini menaklukkan puncak gunung Sibayak
2200 m dpl di Tanah Karo, baru-baru ini.
Bersama Mahasiswa Pencinta Alam Lex Natural FH Universitas Medan Area (UMA) Medan , Bang Imam (Baim) panggilan akrabnya di Medan , berpetualangan mendaki Gunung Sibayak melalui jalur pariwisata Desa Jaranguda, Berastagi.
Mendaki Ditemani Sepeda Dan Tongkat
Sebagai duta wisata yang perjalanannya
disponsori oleh PT Telkomsel, Imam selalu kelihatan ceria meski harus
melewati tantangan cukup berat saat mendaki Gunung Sibayak yang
ditemani sepeda dan tongkat
kesayangannya. Tidak sekalipun ia mengeluh saat berjuang meraih salah
satu puncak gunung Sibayak itu. Pendakian itu diikuti oleh Lex Natural
itu bersama, Pernando Sitepu, Andi Siregar, Baharuddin Dalimunthe,
Anggun Pribadi, Ayu Suratni, Dina Sinulingga, Lia Indah, Binasar
Panjaitan dan Andi Nababan mahasiswa UMI Medan.
Dalam
pendakian ini tiada henti-hentinya Imam memuji keindahan gunung
sibayak. “Selain namanya cukup terkenal, gunung sibayak sangat indah.
Gunung Sibayak bisa dijadikan icon pariwisata Karo sebagai daya tarik
wisata. Saya terkesan dengan gunung ini dan akan kembali suatu saat nanti,” kata Imam saat berada dikawah gunung sibayak yang mempesona.
Selain
itu Pesepeda yang setia mempromosikan wisata daerah yang dilaluinya
terkejut melihat jalan berlobang di Jalan Provinsi tepatnya depan Tebu Manis Peceren, saat kembali ke Meda n . Ia berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karo serius memperbaiki jalan ini. “Kalau jalan menuju
obyek wisata rusak, wisatawan akan malas datang ke Gunung Sibayak dan
Berastagi,” katanya saat melewati jalan macet akibat jalan berlobang
yang digenangi air itu.
Sebelum
tiba di Medan dua pekan lalu Imam Sudjoko sudah melewati rute Banten,
Semarang, Cirebon, Purwokerto, Yogjakarta, Solo, Surabaya, Madiun,
Malang, Banyuwangi, Jember, Denpasar, Tabanan, Gilimanuk Wamena,
Lampung, Bengkulu, Palembang, Bangka Belitung, Jambi, Padang, Bukit
Tinggi, Kampar serta Pekanbaru.
Bertemu Harimau Sampai Dirampok
Dalam
petualang mengelilingi nusantara banyak suka duka yang dialaminya.
’Ketika dalam perjalanan dari Jambi, tepatnya pada tengah malam buta,
saya sempat berpapasan dengan tiga ekor harimau. Namun, dalam suasana
takut dan gelisah muncul
ketakutan yang amat sangat apalagi saat itu hampir tak ada orang
melintas di jalan lintas Sumatera yang terkenal rawan itu,’’ ujar
mantan pemanjat tower salah satu perusahaan di pulau Jawa ini pada
Penulis.
Namun, syukurnya, saat itu, kawanan hewan buas di hutan itu tak sampai mengganggu, sehingga, diapun bisa melanjutkan perjalanan ke daerah lain. Sepanjang perjalanan di daerah Muko-Muko Bengkulu, dia juga harus berhadapan dengan kawanan perampok ganas yang banyak berkeliaran di daerah itu. ‘’Mungkin ketiban nasib naas, waktu itu saya terpaksa harus kehilangan handphone nokia communicator, kamera Nikon serta sejumlah uang. Yang tersisa saat itu hanyalah handphone 3G, laptop yang pada saat itu memang disembunyikan di salah satu tas yang dibawanya. Kamera langsung dirampas karena saya menggantungnya di leher,’’kata Pria yang berencana keliling dunia dan finish di Mekah ini.
Namun, syukurnya, saat itu, kawanan hewan buas di hutan itu tak sampai mengganggu, sehingga, diapun bisa melanjutkan perjalanan ke daerah lain. Sepanjang perjalanan di daerah Muko-Muko Bengkulu, dia juga harus berhadapan dengan kawanan perampok ganas yang banyak berkeliaran di daerah itu. ‘’Mungkin ketiban nasib naas, waktu itu saya terpaksa harus kehilangan handphone nokia communicator, kamera Nikon serta sejumlah uang. Yang tersisa saat itu hanyalah handphone 3G, laptop yang pada saat itu memang disembunyikan di salah satu tas yang dibawanya. Kamera langsung dirampas karena saya menggantungnya di leher,’’kata Pria yang berencana keliling dunia dan finish di Mekah ini.
Rencananya selesai menaklukkan Gunung Sibayak , ia akan mendaki Gunung Sinabung dan menikmati keindahan Danau Toba sebelum melanjutkan perjalanan ke Lampung. Selamat Jalan…
Jumat, 24 Oktober 2008
Gunung Sibayak, Gunung Raja Yang Miliki Sejuta Pesona
Siapa
pendaki gunung yang tidak kenal Gunung Sibayak. Namanya kesohor sampai
ke luar pulau. Tubuhnya sudah capek dibelai-belai para Pendaki lokal
sampai mancanegara. Seorang Pendaki-Orang Gunung Kuala Lumpur (OGKL)
pernah pula mengibarkan bendera negaranya sekaligus merayakan Hari
Kemerdekaan Malaysia-lima tahun silam yang jatuh pada tanggal 31
Agustus 2003 di puncak Sibayak.
Bak seorang Bidadari, nama Sibayak harum bagaikan bunga. Selain nama yang disandang Sibayak cukup terkenal, gunung yang dimilikinya-pun tidak kalah megahnya dibandingkan dengan pengunungan api lain.
Panorama alam yang tersebar tiada henti-hentinya memukau disepanjang perjalanan menuju puncak. Pemandangan alam yang ada seakan mengingatkan kita akan kebesaran sang pencipta. Setiap kali orang mendengar nama Sibayak pasti yang terpikir dalam benak mereka adalah kemegahan dan ketersohoran nama gunungnya sampai ke penjuru bumi. Bahkan nama dari salah satu “Hotel berbintang empat” di kota Berastagi, bernama Hotel Sibayak. Sepertinya nama Sibayak mempunyai kebanggaan dan keindahan bagi orang yang menyandangnya.
Gunung Raja
Untuk itu amatlah pantas apabila gunung Sibayak dijuluki sebagai ”Gunung Raja“ arti kata Sibayak ialah “Raja” Konon Tanah karo diperintah oleh 4 raja (Sibayak). Keempat dari kerajaan itu ialah Sibayak lingga, Sarinembah, Suka, Barusjahe dan Kutabuluh.
Puncak Gunung Sibayak
Siapapun akan mengakui keindahan puncak sibayak, bila berada di puncaknya yang berketinggian 2.0994 Meter.dpl sambil menyaksikan Sunrise (Matahari terbit) dari sana. Bagi yang ingin menyaksikan sunrise, diupayakan agar beranjak dari kaki gunung sekitar pukul 02.00 dini. Hampir mencapai puncak, ditemui aliran air dingin nan jernih. Airnya yang jernih mengalir disela-sela bebatuan yang ditumbuhi lumut yang mengalir dari puncak Sibayak. Berada dipuncak, suasana alam begitu memukau, apalagi terpancar keindahan kerlap-kerlip lampu-lampu desa di sekitar kaki gunung, bila malam cerah. Ditambah lagi jejeran pengunungan Bukit barisan yang pesonanya begitu melengkapi kesempurnaan alam. Pesona alam ini tidak mengaburkan kondisi puncak sibayak yang sudah porak-poranda karena letusan beberapa waktu silam.
Dinginnya udara pegunungan dan gelapnya langit bertaburkan ribuan bintang di puncak malah menciptakan suasana alam yang berbeda, seakan membawa kita berhayal tentang permukaan di bulan, karena yang ditemui disana hanyalah pasir, batu-batuan dan kerikil. Berada di puncak, biasanya pendaki berupaya mencapai salah satu puncak tertinggi Sibayak yang bernama “Takal kuda,” diambil dalam bahasa karo yang artinya “Kepala kuda.” Puncak Sibayak berada di titik koordinat 97°30'BT dan 4°15'LS. Gunung yang masuk dalam tipe gunung berapi yang masih aktif dengan stato (berlapis) mempunyai uap panas, dari kondisi ini masyarakat menganggap puncak dan kawah gunung tersebut menyimpan sejuta misteri.
Kawah Unik
Selain puncak, daerah kawah tidak kalah uniknya. Selain disekitar kawah ditemukan batu cadas, kawah belerang yang luasnya 200 x 200 meter memiliki solfatara yang senantiasa menyemburkan uap panas. Untuk mengabadikan aktivitas kawah pendaki berlomba-lomba menuruni kawah. Dari kawah akan ditemukan sejumlah keunikan yang dimiliki oleh Sibayak yang amat jarang ditemukan di pegunungan lain.
Biasanya kawasan landai di daerah pinggiran kawah dijadikan untuk mendirikan Bivak (Tenda) untuk beristirahat melepaskan lelah seusai mendaki. Biasanya, malam Minggu dan hari libur merupakan musim pendakian ke puncak, dibandingkan dengan hari-hari biasa.
Route Pendakian Gunung Sibayak
Untuk mencapai puncak gunung Sibayak, pendaki dapat memasuki tiga pintu rimba dengan menelusuri jalan setapak melalui hutan belantara tropis dan tebing curam, yang ditemui disepanjang kiri-kanan pendakian. Pintu rimba sibayak melalui, Desa Raja Berneh (Semangat Gunung), Jalur 54, Penatapan jagung rebus dan Jaranguda kira-kira 500 meter dari kota berastagi. Ketiga-jalur dapat dicapai dengan angkutan umum dari kota Medan. Jalur 54 atau sering disebut jalur “Aqua” lebih dikenal dengan medan yang cukup menantang.
Kalau ingin tiga jam mencapai puncak melalui jalur desa Raja Berneh, yang berlokasi sekitar 7 km dari jalan raya Medan – Brastagi. Di desa Raja Berneh ditemukan pemandian air panas Lau Sidebuk-debuk (Hot Spring). Dari tiga jalur ini, Tim memilih untuk melalui Jalur 54 yang dianggap menantang dan memiliki medan yang cukup berat untuk dilalui.
Status Gunung Sibayak
Gunung Sibayak yang berketinggian 2.094 m.dpl secara administratif masuk dalam kabupaten Karo di Sumut. Hutan gunung ini masuk dalam hutan lindung berupa hutan alam pengunungan, yang tergabung dalam Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan yang merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 Nopember 1988.
Pembangunan Tahura ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan lingkungan melalui peningkatan fungsi dan peranan hutan. Hutan gunung yang masih alami tersebut tergabung dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan Daerah Tangkapan Air (DTA) bagi masyarakat disekitar gunung dan hutan.
Gunung Kutu Punya Keunikan Tersendiri
Anda
mungkin pernah mendengar nama kutu. Nama binatang penghisap darah ini
salah satu nama gunung di Tanah Karo. Persisnya di Desa Guru Singa,
Kecamatan Berastagi, Gunung Kutu tidak kalah uniknya dengan sejumlah
gunung yang berada di Tanah Karo. Padahal gunung ini tidak setinggi
Sibayak dan Sinabung, namun panorama alam yang dimiliki cukup mempesona.
Deleng Kutu, demikian masyarakat Karo menyebutnya pada gunung yang memiliki ketinggian sekitar 1300 Mpdl ini. Bila dilihat dari kejauhan, deleng (gunung) yang memiliki pintu rimba sangat menantang itu memang mirip kutu. Mungkin itu-lah sebabnya masyarakat disekitar kaki gunung menyebutnya gunung kutu.
Dalam pendakian gunung yang memiliki tantangan tersendiri itu bersama Esra Surbakti, Rian Ginting dan Jhon Ginting mengawali pendakian itu, belum lama ini. Perjalanan yang diawali sore hari itu ditemani mendung dan kabut. Masih beberapa puluh menit berjalanan muncul permukaan gunung kutu. Sejenak kami berhenti memandang gunung yang terlihat mungil itu. Sembari mengabadikan gunung itu beberapa teman melototi kerumunan sapi yang sedang melahap rumput. Mungkin mereka jarang menemukan suasana seperti ini dikota, pikirku.
Perjalanan dilanjutkan menuju Desa Guru Singa. Berada di jantung kampung, kami menemukan sebuah rumah adat karo yang kondisinya cukup memprihatinkan. Waktu itu kami berupaya masuk ke rumah siwaluh jabu (delapan keluarga) melalui jendela yang hampir ambruk. Kondisi dalam rumah adat yang dulu dihuni delapan keluarga ini kayak kapal pecah. Disana-sini yang terlihat hanya seonggokan pakaian dan barang bekas yang sudah kumuh. Menurut salah seorang warga, sejak sepuluh tahun silam rumah adat karo yang tidak memiliki paku sebagai penghubung bangunan memang tidak dihuni lagi. Ketika ditanya, pria yang mengaku marga Tarigan itu mengatakan keluarga yang dulunya menghuni rumah itu sudah pindah. Namun ia menyesalkan sikap Pemkab Karo yang berkesan tidak peduli mengkonservasi rumah peninggalan nenek moyang orang karo yang tidak ternilai harganya ini.
Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke pintu rimba. Sebelum tiba di pintu rimba, gerimis menemani langkah kami. Di pintu rimba kami sempat mempertaruhkan nyali memanjat betis gunung dengan ketinggian 2, 5 meter. Berhasil melewati tantangan ini dengan bantuan akar pohon kami menemukan jalur yang cukup menantang lagi. Jalur pendakian ke gunung kutu memang memiliki medan yang lumayan sulit. Betul kata sesepuh pendaki gunung, semua gunung memang memiliki medan yang menantang. Jadi kita jangan pernah menganggap remeh sebuah petualangan. Padahal sebelum mendaki gunung kutu, terdengar celotehan teman-teman mengukur jalur gunung. “Tadi kita kira gampang, rupanya jalurnya buat sesak napas juga ya,” kata seorang teman dengan napas memburu.
Hampir mencapai puncak kami tertipu. Rupanya kami menemukan puncak tipuan. Meski gunung ini terlihat kecil, tapi kecil-kecil cabe rawit pula. Memang gunung kecil tapi tidak bisa disepelekan. Di puncak tipuan kami hampir tersesat, tapi buru-buru seorang teman menemukan jalan menuju puncak mengarah ke kanan. Lima menit menyusuri jalan menuju puncak, senja kami menemukan sebuah pilar yang konon didirikan oleh Belanda.
Berada di puncak gunung kutu seperti berada di warung kopi. dilengkapi tempat duduk batu. Puncak memiliki lokasi untuk mendirikan tenda. Setelah puas beristirahat di puncak kami menembus padang ilalang setinggi 2 meter. Dari sana kami menemukan satu tempat yang asyik untuk nongkrong. Terasa asyik berada di ketinggian puncakny, karena dari posisi ini terlihat kota Kabanjahe, permukaan Gunung Sibayak dan Sinabung.
Di puncak, senja menggairahkan suasana gunung. Burung-burung tiada berhenti berkicau, angin senja terasa lembut menyapu kulit. Kami betah berada disana. Alam akrab menyambut kedatangan kami dan menjadi saksi bisu persahabatan kami. Damai disana, sedamai alam bila hutan dan penghuninya dilestarikan. Sangat disayangkan, kepedulian pada alam perlu diragukan. Keraguan itu mucul ketika terlihat sebagian tubuh gunung kutu dilukai untuk dijadikan sebagai ladang penduduk.
Hampir satu jam di puncak kami menuruni gunung kutu. Karena jalannya licin, beberapa kali kami jatuh terpelanting. Tapi berkat bantuan akar-akar pohon yang tersebar di sekitar jalur, kami berhasil turun menjelang malam. Dari pintu rimba kami kembali menyusuri jalan pedesaan menuju Simpang Korpri sekitar 1 jam, Jalan Jamin Ginting yang menghubungkan Kota Kabanjahe-Berastagi. Dari sana kami menuju Kota Berastagi dan menikmati jajanan malam di Kota Parawisata itu. Usai makan malam kami kembali ke Medan mengendarai Mobil Borneo. Ini perjalanan yang mengasyikkan pada malam Lebaran di Tanah Karo.
Deleng Kutu, demikian masyarakat Karo menyebutnya pada gunung yang memiliki ketinggian sekitar 1300 Mpdl ini. Bila dilihat dari kejauhan, deleng (gunung) yang memiliki pintu rimba sangat menantang itu memang mirip kutu. Mungkin itu-lah sebabnya masyarakat disekitar kaki gunung menyebutnya gunung kutu.
Dalam pendakian gunung yang memiliki tantangan tersendiri itu bersama Esra Surbakti, Rian Ginting dan Jhon Ginting mengawali pendakian itu, belum lama ini. Perjalanan yang diawali sore hari itu ditemani mendung dan kabut. Masih beberapa puluh menit berjalanan muncul permukaan gunung kutu. Sejenak kami berhenti memandang gunung yang terlihat mungil itu. Sembari mengabadikan gunung itu beberapa teman melototi kerumunan sapi yang sedang melahap rumput. Mungkin mereka jarang menemukan suasana seperti ini dikota, pikirku.
Perjalanan dilanjutkan menuju Desa Guru Singa. Berada di jantung kampung, kami menemukan sebuah rumah adat karo yang kondisinya cukup memprihatinkan. Waktu itu kami berupaya masuk ke rumah siwaluh jabu (delapan keluarga) melalui jendela yang hampir ambruk. Kondisi dalam rumah adat yang dulu dihuni delapan keluarga ini kayak kapal pecah. Disana-sini yang terlihat hanya seonggokan pakaian dan barang bekas yang sudah kumuh. Menurut salah seorang warga, sejak sepuluh tahun silam rumah adat karo yang tidak memiliki paku sebagai penghubung bangunan memang tidak dihuni lagi. Ketika ditanya, pria yang mengaku marga Tarigan itu mengatakan keluarga yang dulunya menghuni rumah itu sudah pindah. Namun ia menyesalkan sikap Pemkab Karo yang berkesan tidak peduli mengkonservasi rumah peninggalan nenek moyang orang karo yang tidak ternilai harganya ini.
Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke pintu rimba. Sebelum tiba di pintu rimba, gerimis menemani langkah kami. Di pintu rimba kami sempat mempertaruhkan nyali memanjat betis gunung dengan ketinggian 2, 5 meter. Berhasil melewati tantangan ini dengan bantuan akar pohon kami menemukan jalur yang cukup menantang lagi. Jalur pendakian ke gunung kutu memang memiliki medan yang lumayan sulit. Betul kata sesepuh pendaki gunung, semua gunung memang memiliki medan yang menantang. Jadi kita jangan pernah menganggap remeh sebuah petualangan. Padahal sebelum mendaki gunung kutu, terdengar celotehan teman-teman mengukur jalur gunung. “Tadi kita kira gampang, rupanya jalurnya buat sesak napas juga ya,” kata seorang teman dengan napas memburu.
Hampir mencapai puncak kami tertipu. Rupanya kami menemukan puncak tipuan. Meski gunung ini terlihat kecil, tapi kecil-kecil cabe rawit pula. Memang gunung kecil tapi tidak bisa disepelekan. Di puncak tipuan kami hampir tersesat, tapi buru-buru seorang teman menemukan jalan menuju puncak mengarah ke kanan. Lima menit menyusuri jalan menuju puncak, senja kami menemukan sebuah pilar yang konon didirikan oleh Belanda.
Berada di puncak gunung kutu seperti berada di warung kopi. dilengkapi tempat duduk batu. Puncak memiliki lokasi untuk mendirikan tenda. Setelah puas beristirahat di puncak kami menembus padang ilalang setinggi 2 meter. Dari sana kami menemukan satu tempat yang asyik untuk nongkrong. Terasa asyik berada di ketinggian puncakny, karena dari posisi ini terlihat kota Kabanjahe, permukaan Gunung Sibayak dan Sinabung.
Di puncak, senja menggairahkan suasana gunung. Burung-burung tiada berhenti berkicau, angin senja terasa lembut menyapu kulit. Kami betah berada disana. Alam akrab menyambut kedatangan kami dan menjadi saksi bisu persahabatan kami. Damai disana, sedamai alam bila hutan dan penghuninya dilestarikan. Sangat disayangkan, kepedulian pada alam perlu diragukan. Keraguan itu mucul ketika terlihat sebagian tubuh gunung kutu dilukai untuk dijadikan sebagai ladang penduduk.
Hampir satu jam di puncak kami menuruni gunung kutu. Karena jalannya licin, beberapa kali kami jatuh terpelanting. Tapi berkat bantuan akar-akar pohon yang tersebar di sekitar jalur, kami berhasil turun menjelang malam. Dari pintu rimba kami kembali menyusuri jalan pedesaan menuju Simpang Korpri sekitar 1 jam, Jalan Jamin Ginting yang menghubungkan Kota Kabanjahe-Berastagi. Dari sana kami menuju Kota Berastagi dan menikmati jajanan malam di Kota Parawisata itu. Usai makan malam kami kembali ke Medan mengendarai Mobil Borneo. Ini perjalanan yang mengasyikkan pada malam Lebaran di Tanah Karo.
Menaklukkan Keangkuhan Gunung Sibuaten
Banyak
yang tidak tahu Gunung Sibuaten merupakan gunung tertinggi di Sumatera
utara. Gunung yang memiliki ketinggian 2.458 mdpl ini diapit Kabupaten
Karo dan Dairi, tepatnya di Kecamatan Merek. Sangkin uniknya, gunung
yang dikenal misterius ini membuat banyak orang penasaran ingin
membelai tubuhnya. Hanya sebagai informasi, ketika tidak mengetahui
jalur gunung Sibuaten, menjadi perdebatan hangat dikalangan pendaki di
beberapa milis gunung.
Aneh memang, mereka jauh-jauh datang dari Pulau Jawa hanya untuk menjejalkan kakinya di Gunung Sibuaten, tapi informasi yang simpang siur membuat mereka tidak dapat menemukan tempat persembunyian Sibuaten meski sudah menanyakan informasi gunung itu ke sejumlah orang, tapi tidak juga menemukannya.
Meski tidak terkenal seperti gunung Sibayak dan Sinabung, disinilah letak keunikan Deleng Sibuaten, demikian panggilan akrab Tetua Karo. Gunung yang memiliki medan sangat menantang dan jarang dijamah itu hampir dieksploitasi ekosistemnya. Rupanya banyak barang tambang dikandung tubuhnya yang misterius. Gunung yang memiliki banyak puncak tipuan itu juga menyimpan misteri yang belum terungkap sampai saat ini.
Mendaki Dengan Pendaki OGKL
Sekitar pertengah tahun 2005, penulis mendaki gunung ini bersama sahabat alam Orang Gunung Kuala Lumpur (OGKL) Jaleha Samah dan beberapa anggota Pencinta alam Mapagratwa Medan. Persis didepan pintu rimba kami mendirikan tenda untuk beristirahat karena malam telah tiba. Setelah selesai sarapan dan packing perlengkapan mendaki, kami mulai menjelajahi betis gunung Sibuaten. Terasa capek setelah merangkak sampai ke paha gunung. Uhh…kita berhenti ada sungai dan istirahat. Setelah itu kita menyimpan semua carrier (ransel besar-red), kata seorang teman pendaki yang paling muda. Sekaligus mengatakan perlengkapan yang dibawa hanya seperlunya saja karena medannya semakin menantang.
Kami kembali berkemas dan perjalanan dilanjutkan. Tidak lama kemudian kami menemukan hutan pengunungan yang masih alami. Medan yang cukup berat membuat kami harus hati-hati. Beberapa kali kami menemukan kotoran kambing hutan. Hmm…pasti tidak jauh dari sini banyak binatang buas, pikirku. Menurut informasi, binatang buas seperti harimau masih berkeliaran di hutan sibuaten ini.
Hampir mencapai punggungan gunung ditemukan hutan lumut dan kantong semar. Tumbuhan inilah yang menjadi ciri khas hutan gunung ini. Setelah itu mulailah kami menemukan banyak puncak tipuan. Sangkin letihnya, selalu ada harapan bila ketemu satu puncak maka perjuangan berakhir. Tapi ahh, kami kembali tertipu, itu bukan puncak. Rupanya Gunung Sibuaten merupakan gunung angkuh yang tidak mudah ditebak. Punggungan-punggungannya berlapis-lapis.
Karena teramat lelah meraih puncaknya, penulis hampir saja ketiduran di hutan lumutnya yang indah. Meski pendakian terasa berat tapi sibuaten setia menyodorkan pemandangan alam yang tidak dapat dilupakan. Dan bau khas gunungnya yang wangi. Angin yang bertiup kencang ketika hampir mencapai puncak membuat kami hampir menggigil.
Ketika mentari mulai condong ke barat kami mencapai puncak. Pada puncak pertama pemandangan alam begitu menabjubkan. Terlihat keindahan Danau Toba, Gunung Sibayak dan Sinabung. Di puncak utama ditemukan hutan ilalang dan disana ada sebuah pilar. Kabarnya tentara Belanda yang mendirikan pilar ini. Satu persatu kami membuka daypack (ransel kecil) dan mengambil bendera masing-masing. Jaleha mengibarkan bendera negaranya, penulis kibarkan bendera Pencinta Alam (PA) Sibayak dan pendaki lain kibarkan bendera Mapagratwa. Sebagai tanda telah sukses meraih puncaknya, kami berfoto bersama untuk mengabadikan petualangan ini. Luarbiasa, dari atap Sumatera utara ini sinyal sangat bagus. Kami menyempatkan diri mengabarkan kesuksesan pendakian ini ke teman-teman sebelum berbalik arah untuk menuruni puncaknya.
Sekitar 20 menit dipuncak, kami turun dan menghabiskan malam itu di tepi sungai, tempat kami menyimpan carrier tadi pagi. Untuk selamatan karena telah sukses menaklukkan puncaknya, malam itu kami pesta indomie dan kerupuk pedas. Besok harinya setelah sarapan bersama pemburu yang kebetulan lewat, kami meninggalkan kaki gunung sibuaten menuju Medan.
Aneh memang, mereka jauh-jauh datang dari Pulau Jawa hanya untuk menjejalkan kakinya di Gunung Sibuaten, tapi informasi yang simpang siur membuat mereka tidak dapat menemukan tempat persembunyian Sibuaten meski sudah menanyakan informasi gunung itu ke sejumlah orang, tapi tidak juga menemukannya.
Meski tidak terkenal seperti gunung Sibayak dan Sinabung, disinilah letak keunikan Deleng Sibuaten, demikian panggilan akrab Tetua Karo. Gunung yang memiliki medan sangat menantang dan jarang dijamah itu hampir dieksploitasi ekosistemnya. Rupanya banyak barang tambang dikandung tubuhnya yang misterius. Gunung yang memiliki banyak puncak tipuan itu juga menyimpan misteri yang belum terungkap sampai saat ini.
Mendaki Dengan Pendaki OGKL
Sekitar pertengah tahun 2005, penulis mendaki gunung ini bersama sahabat alam Orang Gunung Kuala Lumpur (OGKL) Jaleha Samah dan beberapa anggota Pencinta alam Mapagratwa Medan. Persis didepan pintu rimba kami mendirikan tenda untuk beristirahat karena malam telah tiba. Setelah selesai sarapan dan packing perlengkapan mendaki, kami mulai menjelajahi betis gunung Sibuaten. Terasa capek setelah merangkak sampai ke paha gunung. Uhh…kita berhenti ada sungai dan istirahat. Setelah itu kita menyimpan semua carrier (ransel besar-red), kata seorang teman pendaki yang paling muda. Sekaligus mengatakan perlengkapan yang dibawa hanya seperlunya saja karena medannya semakin menantang.
Kami kembali berkemas dan perjalanan dilanjutkan. Tidak lama kemudian kami menemukan hutan pengunungan yang masih alami. Medan yang cukup berat membuat kami harus hati-hati. Beberapa kali kami menemukan kotoran kambing hutan. Hmm…pasti tidak jauh dari sini banyak binatang buas, pikirku. Menurut informasi, binatang buas seperti harimau masih berkeliaran di hutan sibuaten ini.
Hampir mencapai punggungan gunung ditemukan hutan lumut dan kantong semar. Tumbuhan inilah yang menjadi ciri khas hutan gunung ini. Setelah itu mulailah kami menemukan banyak puncak tipuan. Sangkin letihnya, selalu ada harapan bila ketemu satu puncak maka perjuangan berakhir. Tapi ahh, kami kembali tertipu, itu bukan puncak. Rupanya Gunung Sibuaten merupakan gunung angkuh yang tidak mudah ditebak. Punggungan-punggungannya berlapis-lapis.
Karena teramat lelah meraih puncaknya, penulis hampir saja ketiduran di hutan lumutnya yang indah. Meski pendakian terasa berat tapi sibuaten setia menyodorkan pemandangan alam yang tidak dapat dilupakan. Dan bau khas gunungnya yang wangi. Angin yang bertiup kencang ketika hampir mencapai puncak membuat kami hampir menggigil.
Ketika mentari mulai condong ke barat kami mencapai puncak. Pada puncak pertama pemandangan alam begitu menabjubkan. Terlihat keindahan Danau Toba, Gunung Sibayak dan Sinabung. Di puncak utama ditemukan hutan ilalang dan disana ada sebuah pilar. Kabarnya tentara Belanda yang mendirikan pilar ini. Satu persatu kami membuka daypack (ransel kecil) dan mengambil bendera masing-masing. Jaleha mengibarkan bendera negaranya, penulis kibarkan bendera Pencinta Alam (PA) Sibayak dan pendaki lain kibarkan bendera Mapagratwa. Sebagai tanda telah sukses meraih puncaknya, kami berfoto bersama untuk mengabadikan petualangan ini. Luarbiasa, dari atap Sumatera utara ini sinyal sangat bagus. Kami menyempatkan diri mengabarkan kesuksesan pendakian ini ke teman-teman sebelum berbalik arah untuk menuruni puncaknya.
Sekitar 20 menit dipuncak, kami turun dan menghabiskan malam itu di tepi sungai, tempat kami menyimpan carrier tadi pagi. Untuk selamatan karena telah sukses menaklukkan puncaknya, malam itu kami pesta indomie dan kerupuk pedas. Besok harinya setelah sarapan bersama pemburu yang kebetulan lewat, kami meninggalkan kaki gunung sibuaten menuju Medan.
Langganan:
Postingan (Atom)