April 29, 2007 — Ngeditor
Banyak orang menyangka bahwa penulisan
sejarah Batak baru dimulai pada abad ke-20. Hal ini dapat dimaklumi
karena buku-buku yang beredar di tengah-tengah masyarakat ditulis oleh
pakar-pakar sejarah yang terperangkap dalam misi dan pemahaman sekitar
zaman Belanda dan peran-perannya dalam masyarakat Batak.
Namun, bila kita cermati dengan sungguh-sungguh, penulisan sejarah
Batak sebenarnya telah lama dilakukan setidaknya sejak berabad-abad
yang lalu oleh para sultan dan cendikiawannya, jauh sebelum buku-buku
versi Belanda mendominasi perpustakaan-perpustakaan nasional.
Naskah-naskah sejarah Batak tersebut merupakan kunci utama dalam
mengungkap apa yang disebut dengan misteri dan legenda-legenda dalam
buku modern sekarang ini. ‘Misteri dan legenda’ tersebut muncul akibat
dari persepsi sempit yang banyak dianut oleh para pakar modern yang
malah dianggap sebagai buku pegangan.
Gejala yang paling lucu dari penulisan sejarah tersebut adalah
dengan mengganggap buku pegangan tersebut sebagai acuan mutlak dan
mulai mengembangkannya dengan ‘teori-teori’ yang sepertinya masuk akal
dengan berbagai hipotesa dari zaman-zaman yang paling langka.
Sepertinya ada kesengajaan untuk melompati dan melangkahi zaman
pertengahan, saat zaman sebelumnya langsung dihubungkan dengan zaman
sekarang. Yang sudah barang tentu menghasilkan sebuah kesimpulan yang
sangat keliru.
Contoh utama dari pemahaman itu, terdapat dalam pemahaman tokoh Raja
Uti, Jonggi Manoar dan lain sebagainya yang malah menimbulkan bias yang
sangat jauh, sampai-sampai malah memperkaburkan sejarah tersebut.
Hilangnya peran kosakata Barus dan beberapa negeri lainnya dalam
pembahasan sejarah Batak modern ini, telah menciptakan gap-gap dan
lobang-lobang yang menganga dalam penulisan sejarah sehingga sejarah
Batak menjadi eksis tanpa bentuk.
Peran kesultanan Barus-baik individu lingkar elit maupun masyarakat
cendikiawan di dalamnya- dalam penulisan sejarah yang selama ini
diendapkan, sebenarnya sangat signifikan dalam membantu memahami
sejarah kuno Batak tanpa hipotesa-hipotesa yang kelihan benar tapi
sangat ngawur.
Beberapa naskah yang berhasil dikumpulkan saat masih berkuasanya kesultanan-kesultanan di Barus adalah:
Asal Turunan Raja Barus
Naskah ini sekarang berada di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta
dengan no. ML 162. Dalam katalog van Ronkel naskah ini bernomor Bat.
Gen. 162.
Naskah ini menguraikan keturunan, pemukiman dan hukum-hukum
raja-raja Barus. Dengan beberapa kekecualian, kumpulan naskah itu
mengenai pemukiman dan sejarah keluarga raja-raja Barus di Hulu.
Bagian awal menceritakan perkembangan dan mobilitas orang Batak
marga Pohan dan Pardosi, daerah-daerah yang mereka buka dan bangun,
peperangan dan perebutan wilayah dengan marga lain dan lain sebagainya.
Semuanya dijilid menjadi satu buku unkuran folio dengan sampul
karton. Bagian-bagiannya kebanyakan ditulis dengan tinta, dengan huruf
Arab Melayu atau yang sering juga disebut dengan tulisan Jawi.
Di naskah ini juga didapat sejarah Negeri Rambe, hubungan diplomasi
dan perdagangan antara Aceh dan Tanah Batak, antara Kesultanan Barus
dan orang-orang Toba, Dairi, Pusuk Buhit, Bakkara, Lintong, Tukka,
marga Pasaribu dan Naipospos. Naskah ini sendiri dimulai dengan sebuah
pembukaan “Inilah hikayat cerita Barus permulaannya Batak datang dari
Toba dari suku Pohan seperti tersebut di bawah ini.”
Dari penjelasan mengenai Negeri Rambe, didapat sebuah pemahaman
mengapa marga Pohan dan Pardosi yang menjadi pembuka dan raja di tempat
tersebut, menjadi sangat sedikit jumlahnya.
Hal yang penting adalah tercatatnya sejarah keluarga raja-raja Hulu
di Barus, silsilah dan tarombonya, dan beberapa aturan dan
perundang-undangan dalam kesultanan yang sangat berguna dalam
kelangsungan eksistensi pemerintahan saat itu.
Juga terdapat fasl-fasal mengenai adat istiadat dan tatakrama dan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam pengangkatan raja dan para
pejabat negara seperti penghulu, kebiasaan dalam pemakaman dan lain
sebagainya seperti perjanjian-perjanjian kenegaraan dan adat.
Selain yang bersangkutan dengan raja-raja hulu, naskah ini juga mencatat sejarah dinasti yang memerintah di hilir.
Hikayat Cerita
Naskah yang berisi sejarah dan perjalanan Raja Hulu dan
alasan-alasan utama dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya dalam
mengambil keputusan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang
bersangkutan dengan tata kelola pemerintahan.
Sejarah Tuanku Batu Badan
Naskah ini dimiliki oleh Zainal Arifin Pasariburaja yang kemudian
dibahas oleh Jane Drakard, berisi mengenai segala sesuatu tentang
Kesultanan Barus Hilir yang sering juga disebut orang sebagai Negeri
Fansur.
Naskah ini juag menjadi pusat data dan dokumentasi ibukota
kesultanan Barus Hilir yang sekarang ini sudah mulai menghilang dari
permukaan bumi, baik yang disebabkan oleh alam maupun tangan-tangan
manusia. Juga terdapat sejarahawal terbentuknya pemerintahan Raja
Berempat atau Raja Na Opat di Negeri Silindung.
Di dalamnya terdapat banyak sejarah mengenai hubungan pertalian adat
dan budaya antara Barus dan Minang dan bahkan beberapa raja-raja hilir
memerintah sampai ke negeri Tarusan di Tanah Minang seperti Sultan Main
Alam Pasaribu mengikuti jejak leluhurnya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.
Hikayat Keturunan Raja di Kuria Ilir
Ditulis di Barus pada tanggal 26 Februari 1896 oleh Sultan Alam Syah
untuk kepentingan Belanda. Naskah ini pernah dikutip oleh K.A. James
dalam sebuah bukunya di tahun 1902.
Hikayat Raja Tuktung
Naskah ini disimpan dalam koleksi di Perpustakaan Universitas Leiden
dengan nomor Co. Or 3205 pt. B. Naskah ini merupakan kunci penting
dalam penelusuran beberapa sejarah Batak Toba, khususnya Negeri Rambe.
Kemasyhuran Raja Tuktung dari Tukka tidak saja di seantero Kesultanan
Barus tapi juga di hampir seluruh tanah Batak. Nama Raja Tuktung banyak
dikutip di beberapa naskah maupun pustaha-pustaha kuno Batak namun
secara tidak lengkap.
Panjangnya 42 halaman berisi syair-syair indah menggunakan Arab
Melayu alias Jawi. Naskah ini sangat jelas dalam menjelaskan kronologi
sejarah permulaan Barus dan hubunganya dengan Tanah Batak pada umumnya
serta hubungan erat keduanya dengan Aceh. Juga terdapat dokumentasi
insiden peperangan antara Aceh dan Barus yang berakibat kepada kematian
Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.