Senin, 19 April 2010


Kuburan bersejarah di Tomok.

Pusuk Buhit, demikian masyarakat Batak yang berada di Toba Samosir, Sumatera Utara, menyebutnya. Perbukitan dengan ketinggian berkisar 1.800 mdpl tersebut ditumbuhi berbagai pepohonan kecil serta pohon pinus.

Konon berdasarkan kepercayaan masyarakat Batak dari bukit inilah untuk pertama sekalinya pencipta alam semesta menampakkan diri, yang dinamakan oleh orang Batak dengan sebutan Mula Jadinabolon. Sehingga wajar kalau sampai sekarang kawasan ini masih keramat dan dijadikan salah satu kawasan tujuan wisata sejarah.
Memang membincangkan potensi wisata Toba Samosir tampaknya tidak akan pernah merasa puas, apalagi jika perjalanan itu baru pertama kalinya. Hal ini wajar karena potensi yang mereka miliki memang sangat kaya terutama soal keindahan alam. Apalagi dipadukan dengan cerita sejarah, boleh dibilang daerah ini adalah salah satu lumbung dari cerita sejarah yang bisa menemani perjalanan wisata Anda. Dari sekian banyak yang bisa dinikmati misalnya Batu Hobon, Sopo Guru Tatea Bulan, Perkampungan Siraja Batak, Pusuk Buhit, dan lainnya.Dari atas perbukitan ini, sebagai wisatawan yang baru pertama berkunjung ke sana pastilah akan tertegun sejenak. Karena selain panorama yang disajikan memang sangat indah, kita juga bisa melihat secara leluasa sebahagian besar kawasan perairan Danau Toba sekaligus Pulau Samosirnya. Selain itu dari lereng perbukitan tersebut pengunjung yang datang bisa juga menikmati panorama perkampungan yang berada di antara lembah-lembah perbukitan seperti perkampungan Sagala, Perkampungan Hutaginjang yang membentang luas.

Selain pemandangan ini, wisatawan yang pernah datang ke sana tentunya akan melihat dan mendengar gemercik aliran air terjun yang berada persis di perbukitan berdekatan dengan perkampungan Sagala. Masih dari lereng bukit yang jalannya berkelok-kelok tetapi sudah beraspal dengan lebar berkisar 4 meter, pengunjung juga bisa memperhatikan kegiatan pertanian yang dikerjakan oleh masyarakat sekitarnya. Malah yang lebih asyik lagi adalah menikmati matahari yang akan terbenam dari celah bukit dengan hutan pinusnya.
Untuk mencapai puncak bukit tersebut, pengunjung bisa menggunakan bus roda empat maupun kenderaan roda dua. Namun bus yang dipergunakan tidak bisa sampai di puncak sehingga harus berjalan kaki berkisar 500 meter dari titik akhir parkir kenderaan yang berada di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Sianjur Mula-Mula. Namun demikian sikap waspada harus tetap dipasang, karena memang jalan yang berkelok-kelok tersebut di kanan dan kirinya selalu ada jurang yang terjal. Selain itu sebelum menuju Pusuk Bukit, dari kawasan Pangururan pengunjung bisa menikmati secara utuh pemandangan bukit dengan latar depan air Danau Toba.
Sementara itu, satu paket dengan perjalan menuju ke puncak Pusuk Buhit pengunjung juga bisa menikmati apa yang disebut dengan sumur tujuh rasa. Disebut sumur tujuh rasa karena memang sumur ini memiliki tujuh pancuran yang memiliki rasa air yang berbeda-beda. Bagi masyarakat sekitar Sumur Tujuh Rasa tersebut sehari-harinya dipergunakan sebagai sumber utama air bersih. Sehingga tidak mengherankan kalau wisatawan datang, banyak masyarakat yang menggunakan air yang berada di sana.

Sumur Tujuh Rasa sebenarnya berada di Desa Sipitudai satu kecamatan dengan perbukitan Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-Mula. Kalau kita mencoba untuk merasakan ketujuh air mancur yang ada, maka dari sumber air mancur itu akan kita rasakan air yang terasa: asin, tawar, asam, kesat serta rasa yang lainnya. Sementara berdasarkan keterangan masyarakat setempat, sumber air yang mancur itu keluar dari mata air yang berada di bawah Pohon Beringin. Memang di bawah lokasi Sumut Tujuh Tersebut tumbuh besar pohon beringin yang sangat rindang dan membuat teduh sekitar lokasi sumur.

Keberadaan Sumur Tujuh Rasa ini sebenarnya sudah lama seiring dengan keberadaan masyarakat perkampungan Sipitudai. Masyarakat sekitar mempercayai kalau keberadaan sumur ini tidak terlepas dari cerita raja Batak yang berada di lokasi tersebut. Kalau cerita muncur ke belakang, maka masyarakat menyebutkan bahwa dulu diperkampungan ini ada kerajaan. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mandi serta lainnya mereka mengandalkan sumber air ini.
Cerita ini mungkin ada benarnya, sebab kalau kita amati secara teliti di lokasi yang telah disekat dengan tembok beton oleh masyarakat sekitar akan kita temukan peniggalan seperti batu cucian dari batu alam, lubang-lubang untuk permainan congkak. Jadi, masyarakat yang ada memang mempercayai kalau sumur ini masih keramat dan menjadi salah satu objek yang sering dikunjungi wisatawan yang datang. Hanya satu catatan yang penting untuk lokasi ini adalah masalah penataan dan kebersihan yang memang belum memasyarakat. Tentunya kondisi ini menjadi catatan tersendiri bagi pemda dan masyarakat untuk melakukan penaaan yang lebih baik lagi.
Setelah bergerak menyusuri jalanan yang ada berkisar,maka wisatawan yang berkunjung akan menemukan satu lokasi yang keramat yang disebut lokasi Batu Hobon, Sopo Guru Tatean Bulan atau Rumah Guru Tatea Bulan serta perkampungan Siraja Batak yang lokasinya tidak berjauhan. Dan bila kita tarik garis lurus, maka posisi ketiga lokasi yang masih dianggap keramat ini persis lurus dari satu perbukitan ke perbukitan yang berada di bawahnya. Ketika berada di Sopo Guru Tatea Bulan akan ditemukan patung-patung Siraja Batak dengan keturunannya. Di rumah dengan desain khas masyarakat batak ini juga akan ditemukan patung-patung sebagai penjaga rumah seperti gajah, macan, kuda. Sementara rumah yang berdiri di atas bukit ini didesain dari kayu dan tangga dari batu tetapi atapnya tetap terbuat dari ijuk. Namun yang lebih penting lagi adalah ketika ingin masuk dan memperhatikan lebih detail lagi seluk rumah ini, maka Anda harus melepaskan sandal maupun sepatu. Secara lebih detail di Sopo Guru Tatea Bulan akan kita temukan patung-patung keturunan Siraja Batak, seperti Patung 1.000 raja sepasang dengan istrinya, Patung keturunan Limbong Mulana, Patung Segala Raja serta Patung Silau Raja. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Batak marga-marga yang ada sekarang ini berasal dari keturunan Siraja Batak. Selain itu keberadaan rumah ini juga telah diresmikan oleh DewanPengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tate Bulan tahun 1995 yang lalu. Artinya ketika kita berada di sana akan ditemukan juga penjaga yang akan menjelaskan keberadaan patung yang berada di Sopo Guru Tatea Bulan serta sejarah ringkasnya.
Sejalan dengan legenda itu, pengunjung juga akan menikmati Batu Hobo yang konon menurut cerita merupakan lokasi yang dijadikan penyimpanan harta oleh Siraja Batak. Batu ini berada perbukitan yang lebih rendah lagi dari Sopo Guru Tatea Bulan berdekatan dengan perkampungan masyarakat. berdasarkan sejarah Batu Hobon ini tidak bisa dipecahkan, tetapi kalau dipukul seperti ada ruangan di bawahnya. Namun sampai sekarang tidak bisa dibuka walaupun dilakukan dengan peledakan mortir. Selanjutnya untuk melengkapkan referensi tentang sejarah Sopo Guru Tatea Bulan, maka akan ditemukan perkampungan Siraja Batak. Lokasi perkampungan ini berada di perbukitan yang berada di atasnya dengan jarak yang tidak terlalu jauh sekali berkisar 500 meter.
Untuk kelengkapan perjalanan menuju Pusuk Buhit setidaknya harus berhenti sejenak di atas perbukitan yang berada di Desa Huta Ginjang. Mengapa? Karena dari lokasi ini akan terlihat jelas Pulau Tulas yang berdampingan dengan Pulau Samosir. Pulau Tulas itu sendiri tidak memiliki penghuni tetapi ditumbuhi dengan semak belukar dan hidup berbagai hewan liar lainnya.
Sudah lengkapkah perjalanan wisata kita! Tentulah belum, sebab untuk mengakhirinya kita harus berada di puncak Pusuk Buhit. Setidaknya untuk mendapatkan dan merasakan semilir angin sejuk di puncaknya sambil memandang panorama Danau Toba sesungguhnya. Sedangkan untuk menghilangkan keletihan dan mengambil semangat baru, pengunjung bisa menikmati air hangat setelah turun persis berada di kakai Pusuk Buhit bernama pemandian Aek Rangat yang berada di Desa Sihobung Hobungi. Setidaknya rasa lelah dan semangat baru kembali datang.

Permpuan sebagai "Boru Raja"

Oleh : Pastor Moses Elias SItumorang, OFMCap.

Manusia siapakah dia? Kalau kita hendak menjawab pertanyaan itu, kita boleh memberikan keterangan yang tak terbatas. Bisa mengatakan, manusia adalah makhluk yang berbudaya, makhluk religius, makhluk beretika, binatang berakal budi, makhluk sosial, makhluk politis dan seterusnya. 
Realitas manusia sedemikan kaya, sehingga tidak satu definisi pun sanggup membahasakannya secara tuntas dan habis. Manusia, sebuah rahasia besar dan suci. Manusia adalah misteri. Ungkapan ke-misterian itu, dalam kosa kata filosofis, manusia disebut sebagai makhluk paradoksal. Paradoks berarti, sesuatu tampaknya bertentangan, tetapi tidak berkontradiksi. Bila dikatakan, manusia makhluk paradoksal, itu berarti kebenaran atas jawaban dari pertanyaan siapakah manusia, terletak pada dua hal yang tampaknya bertentangan, tetapi tidak berkontradiksi.

Manusia makhluk otonom dan sekaligus tergantung; sosial dan individual; faktisitas dan possibilitas; fana sekaligus baka; bebas serentak juga terikat; mengubah dunia sekaligus juga dibuah dunia; yang mengukur sekaligus juga yang diukur.

Manusia membentuk dunia lewat kebudayaan tetapi serentak dengan itu dunia lewat kebudayaan, juga membentuk manusia. Orang Bataklah yang menciptakan budaya Batak, tetapi budaya Batak juga, yang membentuk manusia Batak.

Manusialah yang memberi harga  atau nilai kepada air atau emas, tetapi air dan emas juga memberi nilai kepada manusia. Paradoks kena pada hakikat manusia yang membuat manusia menjadi unik. Salah satu bentuk paradoks itu, nampak dalam budaya Batak Toba terutama menyangkut posisi perempuan. Untuk memahaminya kita, membahas dulu konsep raja dalam budaya Batak toba.

Posisi Perempuan Batak Toba :
Sejak dahulu sampai sekarang, masyarakat Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang sangat patriarkal. Dalam masyarakat ini, posisi perempuan seringkali sulit. Seorang perempuan yang telah melahirkan anak laki-laki akan sangat dihargai.

Seorang perempuan yang tidak melahirkan anak laki-laki dianggap rendah. Karena sistem marga dibangun di kalangan laki-laki, seorang laki-laki yang tidak mempunyai anak laki-laki, tidak bisa mengabadikan marga. Keadaan itu dianggap sebagai rasa malu sangat besar dan laki-laki itu biasanya didesak untuk memiliki istri lagi. Meski demikian, kebutuhan memiliki beberapa anak laki-laki satu-satunya alasan bagi seorang laki-laki untuk memiliki istri lagi, masih ada faktor lain.

Setiap kampung atau huta (desa) di daerah Batak Toba pasti dimiliki oleh marga tertentu. Pemiliknya adalah marga yang membuka pertama kampung itu.  Mereka disebut ‘si pungka huta’, (yang membuka kampung). Marga yang membuka kampung itu, disebut ‘marga raja’. Biasanya marga itu lebih banyak di kampung itu. Merekalah diangkat raja di kampung itu (raja huta). Semua marga yang bukan marga raja , disebut marga boru yang tidak mempunyai hak untuk menjadi raja di kampung itu.

Dari sini kita mendapat dua kelas sosial penduduk sebuah huta (kampung). Kedudukan yang rendah diungkapkan dengan marga boru, merupakan warga kelas dua di suatu kampung. Dari situ kita mendapat paham, kata boru (perempuan) mendapat nilai untuk memperlihatkan kelas atau status yang lebih rendah.

Tatanan sosial kekeluargaan atau sistem kekerabatan Batak Toba, dibakukan dalam sistem Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga).
Dahulu tungku terdiri dari tiga buah batu di atas mana orang-orang menempatkan sarana untuk memasak. Dari situlah sistem kekerabatan orang Batak Toba dirumuskan. Sistem ini menempatkan setiap orang Batak Toba dalam bingkai: Hulahula, dongan sabutuha, dan boru.

Hulahula adalah pihak marga dari mana suatu marga menikahi perempuan sebagai istri. Dongan tubu adalah pihak yang tergolong sebagai saudara-saudara (se-marga) sedangkan boru adalah pihak marga kepada mana puteri dinikahkan. Dalam prinsip Dalihan na Tolu (tungku nan tiga) setiap orang akan pernah pada suatu saat sebagai hulahula, dongan sabutuha, atau boru.
Ini sangat sosial karena pada suatu saat, tidak pernah orang tetap pada posisinya. Semua orang akan pernah pada posisi terhormat dan posisi pelayan.
Dalam kontelasi prinsip Dalihan na Tolu itu, muncul juga penempatan status perempuan dalam budaya Batak Toba. Status hulahula-lah yang lebih tinggi, yang patut disembah dan dihormati. Hulahula adalah Bona ni Ari (awal hari kehidupan). Pihak boru, pihak yang melayani hulahula. Hal itu terungkap dalam pepatah: “boru adalah penanggung beban berat,  menjemput yang jauh. Tidak takut pada waktu gelap, membawa nasi yang tak pernah basi, membawa arak tak pernah asam.”  Inilah kedudukan boru dalam kaitan dengan hulahula-nya. Di satu pihak dinyatakan, kedudukannya Penanggung beban, tetapi dipihak lain diperlihatkan keunggulannya.

Dalam tata perkawinan, status perempuan (boru) tampak inferior. Beberapa ungkapan orang Batak Toba dapat menunjukkannya, “molo dung magodang anak pangolihonon. Molo dung magodang boru, pamulihonon.” (kalau anak laki-laki sudah dewasa, menikah. Kalau anak puteri sudah dewasa dinikahkan). Secara semantik kata, digunakan untuk perempuan mengandung nada degradatif (merendahkan).

Pamulihonon berasal dari kata muli yang berati pergi; pamulihonon berarti ‘membuat atau menyuruh pergi’. Nada negatif seolah-olah mengusir. Ada orang melihat, kata pamulihonon, bentuk halus dari pabolihonon (yang sudah dibeli). Akar katanya boli = beli. Perempuan dalam tata perkawinan Batak Toba, pihak “yang dibuat untuk dibeli”. Tidak mengherankan bila orang Batak Toba menyebut pesta perkawinan puterinya, sebagai  ‘mangallang tuhor ni boru’ (memakan uang hasil pembelian anak puteri), yang kerap diperhalus dengan ungkapan ‘magallang juhut ni boru’ (memakan daging yang disediakan puteri).

Posisi perempuan sebagai pihak yang dibeli, tampak pada upacara  perkawinan  berlangsung. Baik si laki-laki maupun si perempuan mengenakan ulos (sehelai kain yang ditenun dengan warna dominan hitam, putih dan merah), disilangkan di depan dan di belakang. Makna disilangkan, berbeda untuk laki-laki dan untuk perempuan. Makna kain ulos yang disilangkan untuk perempuan, berarti perempuan “menyalibkan” dirinya pada suaminya. Itu artinya perempuan menyerahkan ketaatan dan kesetiaan untuk selamanya kepada suaminya.

Sebuah ungkapan lain menunjukkan inferioritas perempuan, sipatogu parik ni halak di anggo borua (perempuan hanya memperkukuh benteng orang lain). Menurut budaya Batak Toba manusia berkeluarga, untuk memperbanyak marganya. Seturut garis patrineal yang sangat kuat dianut oleh orang Batak Toba hanya laki-laki yang membuat demikian. Perempuan tidak berhak untuk itu.

Berkaitan dengan pewarisan harta orang tua, perempuan tidak mendapat hak.
Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan anak laki-laki, hak waris jatuh ke tangan saudara laki-laki yang meninggal itu. Hal itu terungkap dalam ratap pantun seorang perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki: pangeoleolmi solu, solu na di tonga tao. Molo matipul holemi solu, maup tu dia nama ho.

Pangeoleolmi boru, boru na so mariboto. Molo mate amanta I boru, maup tudia nama ho. ’(lenggak-lenggokmu wahai perahu, perahu di tengah danau. Kalau dayungmu patah, kemanakah engkau gerangan. Lenggak-lenggokmu wahai puteri, puteri yang tidak punya saudara. Kalau bapamu meninggal, bagaimanakah nasibmu). Ratapan ini menunjukkan betapa fundamentalnya keberadaan seorang saudara  laki-laki bagi seorang anak perempuan dalam keluarga orang Batak Toba.

Boru ni Raja?
Menurut  sistem Dalihan Na Tolu, dalam kegiatan adat misalnya, boru menjadi parhobas (pelayan). Sampai di sini tidak ada masalah. Bila parhobas berarti  hatoban (budak) ini yang menjadi masalah. Bila seorang anak muda menyuruh suami saudarinya mengerjakan sesuatu, padahal dia pantas juga melakukannya, di sini muncul ide hatoban (budak) secara terselubung. Budaya patriarkhal harus senantiasa dikritisi secara rasional.

Isu gender juga menjadi aktual di sini. Betapa banyak kaum ibu pada masyarakat Batak Toba, menderita di tangan suaminya. Ironisnya para ibu itu disapa dengan boru ni raja (puteri raja), diperlakukan dengan kekerasan, karena dia boru (perempuan) yang dilihat sebagai kelas nomor dua. ‘Sipatogu parik ni halak do borua,’ (puteri  itu hanya untuk memperkuat benteng kampung orang lain).

Ungkapan  di atas belum dengan sendirinya akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Mentalitas itu menumbuh-suburkan, laki-laki menjadi nomor satu dalam kalangan masyarakat Batak Toba secara absolut. Selain itu, mentalitas ‘raja’ juga perlu dicermati. Semua orang Batak Toba adalah ‘anak ni raja dohot  boru ni raja (putera dan puteri raja). Ada keyakinan, maksud ungkapan ini sangat luhur dan mulia, memberi penghormatan kepada orang per orang. Menghormati martabat setiap orang. Bila raja pantas dihormati, setiap pribadi harus juga dihormati.
 
Tetap diperhatikan, jangan-jangan mentalitas itu membangun suatu sikap yang mempromosikan tindak ketidakadilan dan kekerasan. Tidak ada raja yang kalah. Dia mesti menang. Raja orang yang harus dilayani, kepadanya dipersembahkan yang terbaik.

Catatan Kritis
Secara kultural ada kemungkinan, unsur kebudayaan Batak Toba secara tidak langsung  menyumbang terjadinya perlakuan tidak adil. Dengan demikian tindakan kekerasan terhadap perempuan dianggap biasa saja. Itu berarti, manusia Batak Toba secara kolektif, mewarisi paham atau mentalitas itu dari keseluruhan pemikiran dan tata tingkah laku yang diturunkan oleh budaya Batak Toba itu sendiri.

Hendaknya jangan dilupakan, manusia itu juga makhluk individual dan sosial. Seseorang dibentuk bukan hanya oleh setting  keseluruhan pemikiran dan tata tingkah laku kolektif, secara sosial. Dia juga membentuk dirinya sendiri, memilih, dan menentukan pemikiran dan tata tingkah lakunya. Hal ini hendak mengatakan, bila ada perlakuan kekerasan terhadap perempuan di masyarakat Batak Toba, belum tentu seluruhnya karena kesalahan seluruh tata kebudayaan. Boleh jadi orang per orang ada laki-laki yang dari dirinya memang memiliki tingkah laku menjurus ke kekerasan.

Secara individual seseorang melakukan kekerasan terhadap perempuan tidak selalu karena pengaruh budaya. Dapat dipahami, kendati ada kebenaran secara sosio-kultural, laki-laki diistimewakan dari perempuan dalam masyarakat Batak Toba, tidak semua -atau tidak kebanyakan- laki-laki Batak Toba yang memperlakukan perempuan Batak dengan kekerasan. Kembali kita menemukan  paradoksalitas manusia berbudaya.

Seorang dibentuk oleh budaya dan serentak dengan itu, membentuk dan  membangun budaya itu sendiri. Dengan  terkikisnya mentalitas dan asumsi dasar kurang baik, kekerasan terhadap perempuan kiranya akan hilang. Dengan demikian perempuan Batak Toba dapat menjadi “Boru ni Raja Nasangap” (puteri raja terhormat dan bermartabat). Karena itu ada dua catatan kritis atas budaya patrineal Batak Toba dalam kaitannya dengan posisi perempuan dalam konteks dunia modern.

Sebagai catatan kritis pertama, secara intern bobot marga patrineal dalam budaya Batak Toba patut dikurangi demi penyehatan diskriminasi terhadap keturunan perempuan. Tak perlu memberi hak menurunkan marga kepada perempuan (matrinieal), tetapi perlu disehatkan, hak waris lebih terbuka dan kesempatan sama bagi putera-puteri khususnya dalam pendidikan dan pembagian harta warisan.

Sebenarnya mengenai kesamaan hak itu, terungkap dengan sangat jelas dalam sebuah pantun Batak Toba,“Dompak marmeme anak, dompak do nang marmeme boru” (menghadapkan wajah memberi makan putera, menghadapkan wajah juga memberi makan anak puteri).
Ungkapan ini dengan jelas menunjukkan kesamaan nilai anak dan puteri. Bila orang tua dalam lingkungan Batak Toba pun tidak mendapat anak puteri, toh juga mereka merasa tidak lengkap.

Catatan kritis kedua, walau pun cara berbahasa orang Batak Toba keras dan meledak-ledak, atau musiknya keras dan hingar-bingar, tidak berarti budaya Batak Toba, budaya keras. Boleh dikatakan, budaya atau kebudayaan orang Batak Toba  pun tidak inheren mengandung kekerasan. Budaya Batak Toba tidak kebal dari kemungkinan mendorong atau membangkitkan tindak kekerasan kepada kaum perempuan. Dalam zaman modern, budaya Batak Toba pun perlu dikritisi dan dicermati. Di sini dibutuhkan kritisisme sehat terhadap budaya Batak Toba, untuk menempatkan posisi perempuan secara proporsional.

Penulis; Dosen Etika Unika St.Thomas Medan Jalan Setia Budi 479 G Medan Sumatera Utara.

Sastra

"Perbandingan antara Sastra Kebijaksanaan Israel dan Sastra Budaya Batak Toba"
"Marbisuk ma ho!" (Hendaklah kamu cerdik dan bijaksana!). Inilah falsafah kuno orang Batak Toba yang tetap aktual dalam dan bagi kehidupan masyarakat Toba hingga pada masa sekarang. Ungkapan ini sering diumbar oleh orang-orang tua dari jaman ke jaman. Falsafat ini sungguh mempengaruhi cara hidup, pola pikir, cara pandang dan tingkah laku (praktek hidup) orang Batak Toba. Ungkapan sejajar dapat ditemukan juga dalam  Kitab Suci  yang termuat dalam nas yang berisi : " Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus    seperti merpati !"  (Mat. 10:16).
Manusia pada dasarnya ingin bijaksana dan cerdik, karena Allah memberikan dan menciptakan potensi itu dalam diri manusia. Sebagai makhluk yang bernilai luhur, manusia unik dari ciptaan lain karena ia memiliki akal budi. Dengan akal budi manusia mampu untuk berkembang menjadi sempurna dan bijaksana.
Manusia yang memiliki akal budi hidup dalam panggung dunia. Panggung dunia diwarnai oleh pelbagai seni hidup. Manusia berperang sebagai pemain yang memaikan hidup tersebut. Pengalaman hidup berhadapan dengan sesama, berhadapam dengan alam ciptaan lainnya, berhadapan dengan daya-daya kekuatan yang tidak nampak namun mempengaruhi dan membentuk manusia, dan sebagai makhluk rohani berhadapan dengan Allah Sang Pencipta; membentuk suatu cara hidup yang bijaksana. Dengan suatu seni hidup para bijak mencoba membantu orang untuk dapat mengambil sikap yang tepat dalam setiap situasi hidup, dengan demikian dapat berhasil dalam hidup, bertanggungjawab terhadap hidupnya, bersikap benar terhadap penderitaan, kematian, makna hidup di dunia ini. Dengan tujuan akhir ialah demi suatu kebahagian hidup.
Cara-cara hidup tersebut terungkap dalam sastra hidup manusia. Dalam sastra budaya setiap suku yang diwariskan turun temurun, baik secara lisan maupun tulisan. Sastra itu tertuang dalam bentuk puisi, pantun, sajak, pepatah, peribahasa, lagu, dan dalam bentuk lain.
Masyarakat  Batak  Toba  dan  bangsa  Israel memiliki  sastra kebijaksanaan dalam bentuk budayanya masing-masing seperti bangsa lain. Dalam tugas ini penulis hendak menjelaskan sebagian dari sastra dari kedua suku bangsa ini, serentak membandingkan kedua sastra tersebut, hingga dapat memperoleh kekhasan, kelebihan dan kekurangannya.


Sastra Kebijaksanaan Masyarakat Batak Toba.
Batak Toba Sekilas Pandang :
Masyarakat Batak Toba pada umumnya hidup tersebar atau tinggal di sekitar daerah Sumatera Utara, khususnya di daerah pulau Samosir dan daerah Tapanuli. Namun demikian orang Batak telah tersebar ke berbagai penjuru dunia ini. Suku Batak Toba menjadi suku bangsa yang besar. Nenek moyang suku bangsa Batak diduga berasal dari Hindia Belakang, walau menurut mitos orang Batak yang beredar di kalangan masyarakat ini, nenek moyang Orang Batak berasal dari titisan dewa Si Raja Deang Parujar. Raja Batak sebagai manusia pertama dikirim oleh dewa ke bumi ini di gunung Pusuk Buhit, di pulau Samosir. Suku ini memiliki beberapa persamaan dengan salah satu suku di daerah Fhilipina. Karena itu diperkirakan bahwa sebenarnya keturunan Batak Toba berasa dari daerah Asia bagian Hindia Belakang.
Banyak teori dan pendapat yang berbicara tentang keberadaan suku Batak Toba. Sebagian berpendapat bahwa suku Batak mencakup lima suku: Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Dairi-Pakpak. Tetapi pendapat ini sangatlah lemah karena bukti untuk itu tidak kuat. Sebagian orang berpendapat bahwa suku ini berdiri sendiri. Memang ada kemiripan di antara kelima suku ini, misalnya memiliki sedikit persamaan dalam bahasa, adat kebiasaan. Tetapi lebih banyak perbedaan. Perbedaan ini menjadi dasar penentu bahwa suku Batak Toba berbeda dari suku yang lainnya itu. Dalam tugas ini penulis menjelaskan sastra yang dimiliki oleh suku Batak Toba, karena dari suku inilah penulis berasal.

Seni Sastra Masyarakat Batak Toba:
Orang Batak Toba terkenal dengan keberaniannya untuk berbicara di depan umum dan keberanian dalam hal-hal lainnya. Sifat umum dan khas dari suku bangsa ini ialah "Si boru puas si boru bakkara, molo nunga puas ampema soada mara (artinya, seseorang harus mengungkapkan isi hati dan perasaannya, dan jika hal itu telah terungkapkan maka puaslah rasanya dan damai serta selesailah masalkah, semua masalah harus dituntaskan dengan pembicaraan). Ungkapan ini umumnya mewarnai sifat orang Batak. Berkaitan dengan itulah maka orang Batak suka berbicara. Suka berbicara, berkaitan erat dengan bayak hal dalam hidup orang Batak Toba. Suku ini
memiliki banyak ungkapan-ungkapan berhikmat, pepatah, pantun, falsafah, syair lagu, dll. Banyak ungkapan bijaksana di kalangan masyarakat Toba. Ungkapan bijak itu tidak kala penting dan nilainya bagi kehidupan mausia bila dibandingkan dengan ungkapan bijak dari sastra suku bangsa lain. Ungkapan berhikmat itu sungguh lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup nenek moyang dari dahulu hingga masa sekarang.
Makna yang terkandung dalam sastra Batak Toba berkaitan erat dengan kehidupan yang dialami setiap hari, misalnya: falsafah pengetahuan (Batak: Habisuhon), kesusilaan (Batak: Hahormaton), tata aturan hidup (Batak: Adat dohot uhum) dan kemasyarakatan (Batak: Parngoluon siganup ari). Bila diteliti secara seksama, sastra kebijaksanaan suku Batak Toba (yang disebut umpama), terdiri dari empat bagian. Pembagian itu adalah sebagai berikut :
1.      Filsafah (Batak: umpama na marisi habisuhon= pepatah yang berisi pengetahuan atau kebijaksanaan).
2.      Etika kesopanan (Batak: umpama hahormaton).
3.      Undang-undang (Batak: umpama na mardomu tu adat dohot uhum).
4.      Kemasyarakatan (Batak: umpama na mardomu tu parsaoran si ganup ari, ima na dipangke di tingki pesta, partamueon, dll.).
 Arti dan makna umpama (pepatah) dalam suku Batak Toba sangat luas dan mendalam. Berdasarkan bentuknya ungkapan itu
 dapat di bagi ke dalam empat bagian besar. Pembagian itu ialah:
1.      Pantun (Batak: umpasa): adalah ungkapan yang berisi permintaan berkat, keturunan yang banyak, penyertaan dan semua hal yang baik, pemberian dari Allah.
2.      Kiasan/persamaan (Batak: tudosan): adalah pepatah yang berisi persamaan dengan ciptaan (alam) dan semua yang ada di sekitar kita, misalnya: pematang sawah yang licin.
3.      Nyanyian (Batak: endeende): adalah pepatah yang sering dinyanyikan, diungkapkan oleh orang yang sedang rindu, yang bergembira dan yang sedang sedih.
4.      Pepatah (Batak: Umpama) adalah: a). kebijaksanaan/kecerdikan, b). pepatah etika kesopanan, c). pepatah adat (peraturan :tata cara), d). pepatah hukum.

Berikut ini dijelaskan beberapa contoh dari sastra kebijaksanaan Batak Toba dan Sastra kebijaksanaan Bangsa Israel!

1. Berkaitan dengan Penderitaan Manusia: Nunga bosur soala ni mangan
Mahap soala ni minum , Bosur ala ni sitaonon
Mahap ala ni sidangolon
** Arti harafiah dan leksikal:
Sudah kenyang bukan karena makan Puas bukan karena minum
Kenyang karena penderitaan , Puas karena kesedihan/dukacita
** Arti dan makna terdalam:
Syair pantun ini mengungkapkan keluhan manusia atas penderitaan yang berkepanjangan yang menyebabkan keputusasaan. Penderitaan sering dianggap sebagai takdir. Takdir ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang Batak Toba) harus diterima dengan pasrah saja. Ada orang yang menyerah saja pada penderitaan dan menjadi apatis. Namun untuk sebagian orang takdir dilihat sebagai sarana pendidikan, yakni mendidik untuk tabah menghadapi segala cobaan hidup, menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus menanamkan rasa patuh kepada orang tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon.
** Jenis pantun ini ialah "pantun andung" (pantun tangisan) pada penderitaan. Pantun ini diungkapkan pada waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka cita), misalnya pada saat kematian orang tua, sahabat dan famili.
** Padanannya dari Sastra Kebijaksanaan Israel: Ayub 33: 19-22; 36: 15

Tinjauan teologis-eksegetis:
Penderitaan adalah sarana yang digunakan Allah untuk mendidik umat-Nya. Sebagai sarana pendidikan penderitaan dapat menuntun si pendosa kembali kepada kesetiaan dan ke jalan yang baik. Penderitaan dapat membantu manusia dalam perjalanannya menuju Allah. Sengsara dan penderitaan dapat menjadi pemberitahu yang digunakan Allah untuk mempertobatkan pendosa.

Penderitaan adalah bahasa dan cara Allah untuk menyapa orang. Kendati harus diingat bahwa Allah tidak menciptakan atau membuat penderitaan bagi manusia! Melalui penderitaan terjadi penyelamatan dan penyataan kasih Allah. Sengsara dapat menyucikan dan membersihkan seseorang dari dosa jika ia bertobat dan percaya kepada Allah sebagai penyelamat (Yes 1: 25; 48: 10). Sengsara dapat menjadi pelajaran bagi orang mengenai hal-hal yang penting dan sebagai sarana intropeksi diri  (Ul. 8: 2-3). Penderitaan dapat mengajak orang untuk bertobat (bdk. Ams 3: 11-12) dan membuka hati manusia bagi Allah dan karyaNya dalam hidup manusia.

Berkaitan dengan Nasihat dan Larangan Melakukan Perzinahan:
Silaklak ni dandorung , Tu dangka ni sila-sila
Ndang iba jumonokjonok , Tu na so oroan niba .
Arti harafiah dan leksikal: Kulit kayu dandorung Ke dahan kayu silasila , Dilarang mendekati perempuan/wanita Jika tidak istri sendiri
**     Arti terdalam: Dua baris terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan kepada semua pria agar tidak mendekati seorang    perempuan/wanita yang tidak istrinya. Nasehat ini merupakan usaha untuk menghindari tindakan perzinahan dan sekaligus   merupakan larangan untuk tidak melakukan perzinahan. Seorang laki-laki yang mendekati perempuan yang bukan istrinya dan           melakukan hubungan seksual disebut berzinah. Orang yang melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk hidupnya.
**     Jenis Sastra: Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau pepatah nasehat (Batak: umpama etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini digunakan pada kesempatan pesta adat, pesta perkawinan, dan pada hari-hari biasa serta pada kesempatan yang biasa juga. Juga sering diungkapkan pada waktu diadakan musyawarah kampung karena adanya       tindakan pelanggaran perkawinan. Biasanya orang yang berzinah dihukum secara adat.

** Padanannya dari Sastra Kebijaksanaan : Ams 5:15
"Minumlah air dari kulahmu sendiri~ minumlah air dari sumurmu yang membual" (Ams 5:15).

Tinjauan eksegetis-teologis:
Seorang pemuda dinasehati agar tidak melakukan tindak perzinahan dengan orang lain (dengan perempuan yang bukan istri sendiri). Dinasehatkan dengan tegas agar menikmati istri sendiri dan setialah padanya seumur hidup. Dosa perzinahan diartikan sebagai tindak ketidaksetiaan kepada kehendak Allah. Sang murid harus menikmati kebahagiaan dengan istri sendiri dan bukan dengan perempuan jalang (pelacur). Dalam hal ini ditekankan kemurnian perkawinan. Jika nasehat ini diindahkan maka kemurnian perkawinan akan meluap ke luar seperti pancaran-pancaran air dari pancuran. Tindak zinah sungguh ditentang oleh penulis dan pengarang kitab Amsal ini. Hal itu didasarkan pada suatu keyakinan bahwa Allah bangsa Israel tidak menghendaki tindak zinah dan serong. Perbuatan jahat dikutuk dan perbuatan baik diberkati. Perkawinan yang baik pasti diberkati Allah jika dinikmati menurut hukum-hukum Allah. Umumnya secara rohani dari nasehat dari sartra kebijaksanaan Israel sering dan selalu dikaitkan dengan Allah. Kulahmu sendiri adalah bahasa kiasan (kulah, sumur) berarti: istri yang sah. Dengan zinah yang terkutuk dipertentangkan kesetiaan dalam perkawinan dan istri sah yang dipuji. Istri yang baaik adalah karunia dari Tuhan dan penghibur suami.

Berkaitan dengan Etika Kesopanan (sopan santun): " Pantun hangoluan, tois hamatean!"
** Arti harafiah dan leksikal: Sikap hormat dan ramah mendatangkan kehidupan dan kebaikan; sikap ceroboh atau sombong (tidak tahu adat) membawa kematian/malapetaka.
** Arti terdalam: sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan membuahkan hidup yang mulia dan bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan sombong (angkuh) akan menyebabkan kematian, penderitaan, malapetaka dalam hidup seseorang. Pada umumnya orang yang sopan memiliki banyak teman yang setia, ke mana dia pergi selalu mendapat perlindungan dan sambutan dari orang yang dijumpainya. Sedangkan orang yang ceroboh dan sombong sulit mendapat teman bahkan sering mendapat

lawan dan musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun menjadi lawan bagi orang yang seperti ini.
** Jenisnya dan digunakan pada kesempatan: Sastra ini tergolong dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat. Pepatah etika sopan santun. Biasanya digunakan pada kesempatan memberangkatkan anak, famili atau sahabat yang hendak pergi ke perantauan. Dan pepatah ini digunakan sebagai nasehat orang-orang tua kepada anak­anaknya.
** Padanannya dari sastra Kebijaksanaan Israel: Pengkhotbah 8:13 ; Amsal 10: 2-3.

Tinjauan eksegetis-teologis:
Pengkhotbah mengungkapkan bahwa orang takwa (benar) akan selamat dan dirahmati Allah, karena takut akan Allah. Keselamatan yang dimaksudkan ialah keselamatan yang tidak dapat ditangkap oleh indera mata, tetapi sungguh ada. Perbedaan nasib orang benar dan orang fasik nyata dalam ayat ini. Orang fasik tidak hidup lama. Tidak mau mengatakan bahwa semua orang fasik tanpa terkecuali hidup lama. Dalam kenyataanya sekalipun orang fasik bernasib baik dan kadang-kadang hidup lama, namun tetap menjadi kebenaran mutlak bahwa orang fasik tidak bisa luput dari hukuman Allah, bahwa hidupnya diperpendek. Sekalipun tetap diterima ada kekecualian dari pandangan umum itu. Ganjaran bagi orang benar dan ganjaran bagi kebenaran artinya ganjaran bagi hidup yang benar. Para nabi sering menyoroti penindasan dan penipuan serta pemerasan terhadap orang yang lemah. Semuanya itu mengingkari kebenaran yang dituntut Allah dari umatNya. Kebenaran menunjukkan bahwa Allah memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup jasmani umatNya dan menggagalkan nafsu-nafsu jahat dari orang jahat. Pandangan teologi tradisional mengungkapkan bahwa kebaikan akan tumbuh subur dan kejahatan serta orang jahat akan musna dan tidak bertumbuh. Tetapi kenyataannya tidak sungguh-sungguh terus terang dinyatakan dan diyakini oleh semua orang.

Berkaitan dengan "Janji atau nazar" yang harus ditepati:
Pat ni satua , Tu pat ni lote , Mago ma panguba , Mamora na niose
** Arti harafiah dan leksikal: Kaki tikus , Ke kaki burung puyuh . Lenyap/hilanglah si pengingkarjanji Dan kayalah yang diingkari
** Arti terdalam: seorang yang mengingkari janji, apalagi sering-sering mengingkari akan hilang lenyap (mati) karena tindakannya dan orang yang diingkari akan menjadi kaya. Orang yang mengingkari janji dikutuk dan ditolak oleh masyarakat umum, sedangkan orang yag diingkari mendapat penghiburan dan pengharapan yang baik dari sang pemberi rahmat. Dia akan menjadi kaya dalam hidupnya. Padan adalah janji atau perjanjian, ikrar yang disepakati oleh orang yang berjanji. Akibat dari pelanggaran padan lebih daripada hukum badan, karena ganjaran atas pelanggaran padan (janji) tidak hanya ditanggung oleh sipelanggar janji (padan), tetapi juga sampai pada generasi-keturunan berikutnya. Ada unsur kepercayaan kutukan di dalamnya. Padan bersifat pribadi dan rahasia, diucapkan tanpa saksi atau dengan saksi. Jika padan diucapkan pada waktu malam maka saksinya ialah bulan maka disebut padan marbulan. Dan jika diucapkan pada siang hari saksinya ialah hari dan matahari disebut padan marwari. Nilai menepati janji cukup kuat pada orang Toba. mni mungkin ada kaitannya dengan budaya padan yang menyatakan perbuatan ingkar janji merupakan yang terkutuk.
** Jenis pantun dan digunakan pada kesempatan: pantun ini tergolong ke dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat kepada orang yang berjanji (Batak: marpadan). Pepatah ini digunakan pada kesempatan ketika menasehati orang yang sering menginkari janji. Pada upacara adat terjadi pembicaraan dan berkaitan dengan pengadaan perjanjian. Nasehat ini diberikan dan disampaikan oleh orang tua dari kalangan keluarga. mni merupakan unsur sosialisasi untuk mendidik orang Toba menjadi orang yang konsekuen dalam bertindak.

** Padanannya dari sastra Kebijaksanaan Israel: Pengkhotbah 5: 3-4.
Di kalangan bangsa Israel terdapat apa yang disebut dengan 'nazar'. Dan orang bernazar karena dan untuk suatu hal. Nazar sering ditujukan kepada Allah. Kitab pengkhotbah menulis kritik atas kebiasaan untuk mengucapkan nazar, sesuatu yang pada dasarnya dinilai positif. Pengkhotbah tidak menolak nilai dari nazar, tetapi tidak mau mengikatkan nilai pada nazar, melainkan pada penetapan nazar. Agar bahaya dari "melupakan nazar" diperkecil dan dihindari, maka pengkhotbah memberi nasehat untuk selekas-lekasnya menepati nazar. Sebab sungguh-sungguh bodoh kalau menunda-nunda menepati nazar dan Allah tidak senang pada orang yang ingkar (tidak menepati) akan nazarnya. Lebih baik tidak bernazar daripada bernazar tetapi tidak melaksanakannya. Peringatan ini berhubungan dengan membuat janji. Yang menjadi pokok pikiran ialah "menganggap enteng" karena menganggap enteng, maka manusia sering cepat sekali bernazar. Tetapi bila tiba saatnya untuk menepati janji itu, maka ia sudah lupa. Siapa yang belaku demikian adalah orang yang kurang waras. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang tidak setia, apalagi jika mengingkari janji yang berkaitan dengan Allah. Karena itu lebih baik tidak bernazar daripada bernazar tetapi tidak menepatinya. Di sini dinyatakan bahwa bernazar tidaklah merupakan kewajiban mutlak. Dalam Taurat Musa diungkapkan bahwa orang tidak berdosa bila tidak berjanji (Ul 23: 22). Tetapi orang yang berjanji /bernazar dan tidak melakukannya ia berdosa (Ul 23:21). Pengkhotbah berkata: lebih baik engkau tidak berjanji daripada tidak menebus sesuatu janji yang telah diucapkan.

Berkaitan dengan Kehidupan Sosial Masyarakat:
Ansimun sada holbung Pege sangkarimpang Manimbuk rap tu toru Mangangkat rap tu ginjang
** Arti harafiah dan leksikal:
Mentimun satu kumpulan Jahe satu rumpun batang Serentak melompat ke bawah Serentak melompat ke atas
** Arti terdalam: Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu keluarga (Batak: dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung duka dan derita, suka dan kegembiraan. Sejajar dengan ungkapan: "ringan sama dijingjing, berat sama dipiku~". Dari ungkapan ini terbersit arti mendalam dari kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba. Kekerabatan mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan darah. Kerukunan diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan antar manusia dalam kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Hubungan ini telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi ke generasi berikutnya. Hubungan ini telah ditanamkan kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, misalnya dengan orang tua, sanak saudara dan kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan baik sesuai dengan kode etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat diatur sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu.
** Jenis sastra: tergolong dalam kelompok pepatah (Batak: umpama). Dipakai pada kesempatan pesta pernikahan, pesta adat dan pada waktu kemalangan. Pepatah ini digunakan sebagai nasehat untuk pihak yang berpesta dan yang sedang kemalangan.
** Padanannya dari sastra Kebijaksanaan Israel: Sirakh 3: 31-4: 1-3 ; Ams 3: 27-28:

Tinjauan eksegetis-teologis:
Membalas dengan cinta apa yang telah diperoleh dari orang lain. Dalam teks sirakh tidak dikatakan apa yang mesti dibalas dengan cinta, kebaikan atau keburukan yang dialami dari pihak orang lain. Tetapi sangat ditekankan kewajiban berbuat baik kepada orang yang miskin dan lemah. Dalam hal ini nasehat dalam pepatah teks ini menekankan keharusan dan supaya tidak menunda-nunda perbuatan baik itu. Amsal menekankan agar tidak menahan kebaikan dari pada orang yang berhak menerimanya, pada hal kita dapat melakukannya. Anjuran berbuat baik kepada sesama berarti kepada teman, kepada rekan, sahabat, atau pendeknya kepada setiap orang yang dengannya ada hubungan khusus. Dalam Amsal arti kata sesama juga mencakup pengertian secara luas hinga mencakup orang lain. Ini merupakan langkah pertama ke arah perluasan kasih kepada sesama manusia (Im 19:18) yang akhirnya dalam Injil, termasuk musuh juga (Mat 5: 43). Allah mencintai dan mengasihi orang yang berlaku baik dan benar. Tindakan kasih adalah yang terutama daripada ketaatan kepada hukum pada hal meniadakan kasih terhadap sesama. Orang yang berbuat baik akan memperoleh hikmat yang berasal dari Tuhan dan menjadi tenteramlah hidupnya, bahagia di hadapan Allah.

PERBANDINGAN ANTARA SASTRA BATAK TOBA DAN SASTRA KEBIJAKSAAN ISRAEL
A. Kekhasan masing-masing satra:
1.           Sastra Batak Toba:
Sastra Batak Toba lahir dari budaya Batak yang tumbuh berkat relasinya dengan alam, dunia sekitar dan orang-orang dari suku bangsa lain.
Pepatah atau ungkapan bijak dalam suku ini tidak diperoleh dari hasil pendidikan formal, tetapi dari pendidikan suatu perkumpulan, misalnya perguruan silat atau perkumpulan marga dan adat.
Sastra ini pada umumnya diwariskan secara lisan.
Pengarang satra ini tidak diketahui. Waktu penulisan dan tempat mengarang juga tidak dapat dipastikan.
Pepatah dan pantun dapat diubah-ubah sesuai dengan situasi yang ada. Tetapi harus selalu diperhatikan dan dipertahankan isi dan makna yang sebenarnya. Sastra ini memiliki arti kiasan atau perumpamaan dan arti langsung (harafiah). Pola sajak yang digunakan umumnya bervariasi, ada ab-ab dan ada yang bebas. Ada pepatah atau sajak yang bernilai rohani, yang sangat dalam maknanya. Pepatah umumnya dikuasai oleh sebagian orang saja yang bertugas sebagai pembiGara dalam adat. Orang yang bisa berbiGara dengan baik dan mengetahui banyak pepatah maka dia dapat dihunjuk sebagai pembiGara dalam adat. Tetapi umumnya sastra ini dapat digunakan oleh siapa saja.
2.           Sastra Kebijaksanaan Israel:
Sastra Israel umumnya dituliskan dalam satu buku tertentu, kendatipun ada juga yang diwariskan seGara lisan, turun temurun. Sastra ini telah tersebar luas ke seluruh dunia karena telah masuk ke dalam agama Kristen.
Setiap tulisan ada pengarang dan diperkirakan ditulis pada masa atau jaman tertentu. Hal itu dapat diteliti dalam tulisan, dalam kata-kata, dalam alur pemikiran yang terdapat dalam sastra itu.
Masing-masing sastra memiliki Giri khas tersendiri sesuai dengan gaya pemikiran dan waktu penulisannya.

Pesan yang termuat di dalam tulisan pada umumnya jelas.
Memiliki makna rohani yang mendalam.
Pengungkapan bebas walaupun juga ada yang memiliki aturan tersendiri dan memiliki persamaan.
Sastra kebijaksanaan Israel sungguh-sungguh ungkapan dan buah pikiran orang-orang bijaksana.

B. Kelebihan, kekurangan dan persamaan:
** Kelebihan dan kekurangan:
a).   Sastra Batak Toba:
Kelebihan: pepatah bersifat sederhana, mudah dimengerti dan diingat oleh orang, tidak membosankan, memiliki arti harafiah dan arti terdalam yang juga memiliki kaitan dengan arti harafiah itu. Umumnya pepatah atau sastra Batak sibuk dengan masa depan.
Kekurangan: tidak semua tertulis karena itu bisa hilang dan dilupakan oleh generasi selanjutnya. Sastra ini memiliki bahasa kuno yang terkadang sulit dimengerti orang jpada aman sekarang.
b).        Sastra Kebijaksanaan Israel:
Kelebihan:
@    Diwariskan secara tertulis.
@    Memiliki kekhasan dari tiap-tiap sastra.
@    Tetap populer sampai sekarang terutama dalam agama Kristen
@    Memiliki arti terdalam dan arti kiasan
@    Kebijaksanaan bersifat universal
@    Hikmat dapat mendidik manusia.
Kekurangan:
@    Ada sebagian sastra yang tidak memiliki aturan.
@    Sastra kebanyakan bertemakan hal duniawi pada hal maksudnya lebih rohani.
@    Umumnya tidak terlalu memikirkan masa depan.

** Persamaan : Masing-masing sastra digunakan dalam kehidupan sehari-hari demi kebaikan manusia. Sastra bertujuan untuk mendidik manusia terutama untuk generasi berikutnya. Sastra lahir dari pengalaman manusia. Berisikan patokan-patokan kebijaksanaan manusiawi. Memiliki pepatah atau ungkapan-ungkapan yang pendek dan mudah diingat.

PENUTUP :
Ada ungkapan para tua-tua orang Batak Toba: 'Ansit do na haion (so dapotan) jambar juhut, alai hansitan dope na so dapotan jambar hata', Artin ya sangat men yakitkan jika seseorang tidak mendapat bagian dalam pembagian daging, tetapi lebih sakit lagijika seseorang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara dalam pesta adat. Ungkapan ini hendak menunjukkan betapa penting dan tingginya nilai berbiGara dalam budaya Batak Toba. Ungkapan-ungkapan orang bijak di kalangan Batak Toba memiliki Giri tersendiri. Hal itu terGermin dalam semua tulisan dan sastra yang dimiliki oleh suku ini. Sastra Israel juga menunjukkan hal yang sama dan memiliki Giri yang khas dan bernilai tinggi. Karena itu dalam membandingkan kedua sastra ini, penulis tidak dapat menemukan ungkapan atau teks yang sungguh-sungguh sama. Makna, arti dan tujuan dapat sama namun pengungkapannya berbeda-beda. Sastra diungkapkan dengan kata dan gaya bahasa yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh Gara pikir dan perkembangan budaya dari kedua sastera ini.
Penulis melihat poin lain, berkaitan dengan perbandingan kedua sastra ini, yakni masing-masing sastra kebijaksanaan dari kedua suku bangsa ini sungguh bertujuan untuk membangun, mengembangkan dan mengatur kehidupan manusia agar manusia dapat hidup sejahtera dan damai di bumi ini. Orang yang bijak akan nampak dalam dan dari tingkah laku dan tutur kata serta dari ungkapan-ungkapannya. Semoga manusia semakin bijaksana dan kebijaksanaan Allah menwarnai kebijaksanaan setiap orang .

     Daftar Bacaan:
1). Sibarani, A.N. Parda. Umpama Batak Dohot Lapatanna Pematangsiatar: "Parda" Jl. Patimura 100, 1976.
2). Sarumpaet, J.P. MA. Kamus Batak Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1994.
3).   Van der Weiden, Wim Dr. Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
4). Harahap, F.K.N. Dr. Tafsir Kitab Pengkhotbah. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1975.
5). Sihombing, T.M. JambarHata: Dongan Tu UlaonAdat. Jakarta: Tulus Jaya, 1989.
6). Bimas Katolik. Kitab Suci Perjanjian Lama II. Ende-Flores: Arnoldus, 1977/1978.
7). Mc Kane, William. Proverbs :A NewApproach. SCM. LTD., 1985.
8).   Rolles Driver D.D., Samuel and Buchanan Gray D. Litt, George. A Critical and Exegetical Commentari ON
      The Book of Job. Edinburgh: T. & T. Clark, 59 George Street, 1986.