Senin, 19 April 2010

Permpuan sebagai "Boru Raja"

Oleh : Pastor Moses Elias SItumorang, OFMCap.

Manusia siapakah dia? Kalau kita hendak menjawab pertanyaan itu, kita boleh memberikan keterangan yang tak terbatas. Bisa mengatakan, manusia adalah makhluk yang berbudaya, makhluk religius, makhluk beretika, binatang berakal budi, makhluk sosial, makhluk politis dan seterusnya. 
Realitas manusia sedemikan kaya, sehingga tidak satu definisi pun sanggup membahasakannya secara tuntas dan habis. Manusia, sebuah rahasia besar dan suci. Manusia adalah misteri. Ungkapan ke-misterian itu, dalam kosa kata filosofis, manusia disebut sebagai makhluk paradoksal. Paradoks berarti, sesuatu tampaknya bertentangan, tetapi tidak berkontradiksi. Bila dikatakan, manusia makhluk paradoksal, itu berarti kebenaran atas jawaban dari pertanyaan siapakah manusia, terletak pada dua hal yang tampaknya bertentangan, tetapi tidak berkontradiksi.

Manusia makhluk otonom dan sekaligus tergantung; sosial dan individual; faktisitas dan possibilitas; fana sekaligus baka; bebas serentak juga terikat; mengubah dunia sekaligus juga dibuah dunia; yang mengukur sekaligus juga yang diukur.

Manusia membentuk dunia lewat kebudayaan tetapi serentak dengan itu dunia lewat kebudayaan, juga membentuk manusia. Orang Bataklah yang menciptakan budaya Batak, tetapi budaya Batak juga, yang membentuk manusia Batak.

Manusialah yang memberi harga  atau nilai kepada air atau emas, tetapi air dan emas juga memberi nilai kepada manusia. Paradoks kena pada hakikat manusia yang membuat manusia menjadi unik. Salah satu bentuk paradoks itu, nampak dalam budaya Batak Toba terutama menyangkut posisi perempuan. Untuk memahaminya kita, membahas dulu konsep raja dalam budaya Batak toba.

Posisi Perempuan Batak Toba :
Sejak dahulu sampai sekarang, masyarakat Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang sangat patriarkal. Dalam masyarakat ini, posisi perempuan seringkali sulit. Seorang perempuan yang telah melahirkan anak laki-laki akan sangat dihargai.

Seorang perempuan yang tidak melahirkan anak laki-laki dianggap rendah. Karena sistem marga dibangun di kalangan laki-laki, seorang laki-laki yang tidak mempunyai anak laki-laki, tidak bisa mengabadikan marga. Keadaan itu dianggap sebagai rasa malu sangat besar dan laki-laki itu biasanya didesak untuk memiliki istri lagi. Meski demikian, kebutuhan memiliki beberapa anak laki-laki satu-satunya alasan bagi seorang laki-laki untuk memiliki istri lagi, masih ada faktor lain.

Setiap kampung atau huta (desa) di daerah Batak Toba pasti dimiliki oleh marga tertentu. Pemiliknya adalah marga yang membuka pertama kampung itu.  Mereka disebut ‘si pungka huta’, (yang membuka kampung). Marga yang membuka kampung itu, disebut ‘marga raja’. Biasanya marga itu lebih banyak di kampung itu. Merekalah diangkat raja di kampung itu (raja huta). Semua marga yang bukan marga raja , disebut marga boru yang tidak mempunyai hak untuk menjadi raja di kampung itu.

Dari sini kita mendapat dua kelas sosial penduduk sebuah huta (kampung). Kedudukan yang rendah diungkapkan dengan marga boru, merupakan warga kelas dua di suatu kampung. Dari situ kita mendapat paham, kata boru (perempuan) mendapat nilai untuk memperlihatkan kelas atau status yang lebih rendah.

Tatanan sosial kekeluargaan atau sistem kekerabatan Batak Toba, dibakukan dalam sistem Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga).
Dahulu tungku terdiri dari tiga buah batu di atas mana orang-orang menempatkan sarana untuk memasak. Dari situlah sistem kekerabatan orang Batak Toba dirumuskan. Sistem ini menempatkan setiap orang Batak Toba dalam bingkai: Hulahula, dongan sabutuha, dan boru.

Hulahula adalah pihak marga dari mana suatu marga menikahi perempuan sebagai istri. Dongan tubu adalah pihak yang tergolong sebagai saudara-saudara (se-marga) sedangkan boru adalah pihak marga kepada mana puteri dinikahkan. Dalam prinsip Dalihan na Tolu (tungku nan tiga) setiap orang akan pernah pada suatu saat sebagai hulahula, dongan sabutuha, atau boru.
Ini sangat sosial karena pada suatu saat, tidak pernah orang tetap pada posisinya. Semua orang akan pernah pada posisi terhormat dan posisi pelayan.
Dalam kontelasi prinsip Dalihan na Tolu itu, muncul juga penempatan status perempuan dalam budaya Batak Toba. Status hulahula-lah yang lebih tinggi, yang patut disembah dan dihormati. Hulahula adalah Bona ni Ari (awal hari kehidupan). Pihak boru, pihak yang melayani hulahula. Hal itu terungkap dalam pepatah: “boru adalah penanggung beban berat,  menjemput yang jauh. Tidak takut pada waktu gelap, membawa nasi yang tak pernah basi, membawa arak tak pernah asam.”  Inilah kedudukan boru dalam kaitan dengan hulahula-nya. Di satu pihak dinyatakan, kedudukannya Penanggung beban, tetapi dipihak lain diperlihatkan keunggulannya.

Dalam tata perkawinan, status perempuan (boru) tampak inferior. Beberapa ungkapan orang Batak Toba dapat menunjukkannya, “molo dung magodang anak pangolihonon. Molo dung magodang boru, pamulihonon.” (kalau anak laki-laki sudah dewasa, menikah. Kalau anak puteri sudah dewasa dinikahkan). Secara semantik kata, digunakan untuk perempuan mengandung nada degradatif (merendahkan).

Pamulihonon berasal dari kata muli yang berati pergi; pamulihonon berarti ‘membuat atau menyuruh pergi’. Nada negatif seolah-olah mengusir. Ada orang melihat, kata pamulihonon, bentuk halus dari pabolihonon (yang sudah dibeli). Akar katanya boli = beli. Perempuan dalam tata perkawinan Batak Toba, pihak “yang dibuat untuk dibeli”. Tidak mengherankan bila orang Batak Toba menyebut pesta perkawinan puterinya, sebagai  ‘mangallang tuhor ni boru’ (memakan uang hasil pembelian anak puteri), yang kerap diperhalus dengan ungkapan ‘magallang juhut ni boru’ (memakan daging yang disediakan puteri).

Posisi perempuan sebagai pihak yang dibeli, tampak pada upacara  perkawinan  berlangsung. Baik si laki-laki maupun si perempuan mengenakan ulos (sehelai kain yang ditenun dengan warna dominan hitam, putih dan merah), disilangkan di depan dan di belakang. Makna disilangkan, berbeda untuk laki-laki dan untuk perempuan. Makna kain ulos yang disilangkan untuk perempuan, berarti perempuan “menyalibkan” dirinya pada suaminya. Itu artinya perempuan menyerahkan ketaatan dan kesetiaan untuk selamanya kepada suaminya.

Sebuah ungkapan lain menunjukkan inferioritas perempuan, sipatogu parik ni halak di anggo borua (perempuan hanya memperkukuh benteng orang lain). Menurut budaya Batak Toba manusia berkeluarga, untuk memperbanyak marganya. Seturut garis patrineal yang sangat kuat dianut oleh orang Batak Toba hanya laki-laki yang membuat demikian. Perempuan tidak berhak untuk itu.

Berkaitan dengan pewarisan harta orang tua, perempuan tidak mendapat hak.
Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan anak laki-laki, hak waris jatuh ke tangan saudara laki-laki yang meninggal itu. Hal itu terungkap dalam ratap pantun seorang perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki: pangeoleolmi solu, solu na di tonga tao. Molo matipul holemi solu, maup tu dia nama ho.

Pangeoleolmi boru, boru na so mariboto. Molo mate amanta I boru, maup tudia nama ho. ’(lenggak-lenggokmu wahai perahu, perahu di tengah danau. Kalau dayungmu patah, kemanakah engkau gerangan. Lenggak-lenggokmu wahai puteri, puteri yang tidak punya saudara. Kalau bapamu meninggal, bagaimanakah nasibmu). Ratapan ini menunjukkan betapa fundamentalnya keberadaan seorang saudara  laki-laki bagi seorang anak perempuan dalam keluarga orang Batak Toba.

Boru ni Raja?
Menurut  sistem Dalihan Na Tolu, dalam kegiatan adat misalnya, boru menjadi parhobas (pelayan). Sampai di sini tidak ada masalah. Bila parhobas berarti  hatoban (budak) ini yang menjadi masalah. Bila seorang anak muda menyuruh suami saudarinya mengerjakan sesuatu, padahal dia pantas juga melakukannya, di sini muncul ide hatoban (budak) secara terselubung. Budaya patriarkhal harus senantiasa dikritisi secara rasional.

Isu gender juga menjadi aktual di sini. Betapa banyak kaum ibu pada masyarakat Batak Toba, menderita di tangan suaminya. Ironisnya para ibu itu disapa dengan boru ni raja (puteri raja), diperlakukan dengan kekerasan, karena dia boru (perempuan) yang dilihat sebagai kelas nomor dua. ‘Sipatogu parik ni halak do borua,’ (puteri  itu hanya untuk memperkuat benteng kampung orang lain).

Ungkapan  di atas belum dengan sendirinya akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Mentalitas itu menumbuh-suburkan, laki-laki menjadi nomor satu dalam kalangan masyarakat Batak Toba secara absolut. Selain itu, mentalitas ‘raja’ juga perlu dicermati. Semua orang Batak Toba adalah ‘anak ni raja dohot  boru ni raja (putera dan puteri raja). Ada keyakinan, maksud ungkapan ini sangat luhur dan mulia, memberi penghormatan kepada orang per orang. Menghormati martabat setiap orang. Bila raja pantas dihormati, setiap pribadi harus juga dihormati.
 
Tetap diperhatikan, jangan-jangan mentalitas itu membangun suatu sikap yang mempromosikan tindak ketidakadilan dan kekerasan. Tidak ada raja yang kalah. Dia mesti menang. Raja orang yang harus dilayani, kepadanya dipersembahkan yang terbaik.

Catatan Kritis
Secara kultural ada kemungkinan, unsur kebudayaan Batak Toba secara tidak langsung  menyumbang terjadinya perlakuan tidak adil. Dengan demikian tindakan kekerasan terhadap perempuan dianggap biasa saja. Itu berarti, manusia Batak Toba secara kolektif, mewarisi paham atau mentalitas itu dari keseluruhan pemikiran dan tata tingkah laku yang diturunkan oleh budaya Batak Toba itu sendiri.

Hendaknya jangan dilupakan, manusia itu juga makhluk individual dan sosial. Seseorang dibentuk bukan hanya oleh setting  keseluruhan pemikiran dan tata tingkah laku kolektif, secara sosial. Dia juga membentuk dirinya sendiri, memilih, dan menentukan pemikiran dan tata tingkah lakunya. Hal ini hendak mengatakan, bila ada perlakuan kekerasan terhadap perempuan di masyarakat Batak Toba, belum tentu seluruhnya karena kesalahan seluruh tata kebudayaan. Boleh jadi orang per orang ada laki-laki yang dari dirinya memang memiliki tingkah laku menjurus ke kekerasan.

Secara individual seseorang melakukan kekerasan terhadap perempuan tidak selalu karena pengaruh budaya. Dapat dipahami, kendati ada kebenaran secara sosio-kultural, laki-laki diistimewakan dari perempuan dalam masyarakat Batak Toba, tidak semua -atau tidak kebanyakan- laki-laki Batak Toba yang memperlakukan perempuan Batak dengan kekerasan. Kembali kita menemukan  paradoksalitas manusia berbudaya.

Seorang dibentuk oleh budaya dan serentak dengan itu, membentuk dan  membangun budaya itu sendiri. Dengan  terkikisnya mentalitas dan asumsi dasar kurang baik, kekerasan terhadap perempuan kiranya akan hilang. Dengan demikian perempuan Batak Toba dapat menjadi “Boru ni Raja Nasangap” (puteri raja terhormat dan bermartabat). Karena itu ada dua catatan kritis atas budaya patrineal Batak Toba dalam kaitannya dengan posisi perempuan dalam konteks dunia modern.

Sebagai catatan kritis pertama, secara intern bobot marga patrineal dalam budaya Batak Toba patut dikurangi demi penyehatan diskriminasi terhadap keturunan perempuan. Tak perlu memberi hak menurunkan marga kepada perempuan (matrinieal), tetapi perlu disehatkan, hak waris lebih terbuka dan kesempatan sama bagi putera-puteri khususnya dalam pendidikan dan pembagian harta warisan.

Sebenarnya mengenai kesamaan hak itu, terungkap dengan sangat jelas dalam sebuah pantun Batak Toba,“Dompak marmeme anak, dompak do nang marmeme boru” (menghadapkan wajah memberi makan putera, menghadapkan wajah juga memberi makan anak puteri).
Ungkapan ini dengan jelas menunjukkan kesamaan nilai anak dan puteri. Bila orang tua dalam lingkungan Batak Toba pun tidak mendapat anak puteri, toh juga mereka merasa tidak lengkap.

Catatan kritis kedua, walau pun cara berbahasa orang Batak Toba keras dan meledak-ledak, atau musiknya keras dan hingar-bingar, tidak berarti budaya Batak Toba, budaya keras. Boleh dikatakan, budaya atau kebudayaan orang Batak Toba  pun tidak inheren mengandung kekerasan. Budaya Batak Toba tidak kebal dari kemungkinan mendorong atau membangkitkan tindak kekerasan kepada kaum perempuan. Dalam zaman modern, budaya Batak Toba pun perlu dikritisi dan dicermati. Di sini dibutuhkan kritisisme sehat terhadap budaya Batak Toba, untuk menempatkan posisi perempuan secara proporsional.

Penulis; Dosen Etika Unika St.Thomas Medan Jalan Setia Budi 479 G Medan Sumatera Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar