Jumat, 16 April 2010

Sejarah Silahisabungan

19 November 2009 jam 12:42
Adalah anak dari Sorba di Banua, yaitu Si Bagot Ni Pohan, Silahisabungan, Si Raja Oloan dan Si Paittua. Dari cerita rakyat Tapanuli (tarombo), Bermula dari Si Bagot Ni Pohan yang kemudian menjadi pengganti Sorba Di Banua di tanah mereka di Balige. Karena terjadi selisih paham antara mereka, akhirnya Silahisabungan, Si Raja Oloan dan Si Paittua memilih untuk hengkang dari Balige, mereka bertiga mengembara untuk mencari daerah pemukiman baru. Si Paittua memilih tinggal di Laguboti sementara Silahisabungan dan Si Raja Oloan harus ke Samosir. Setelah sampai di Lontung, Si Raja Oloan dan Silahisabungan harus berpisah. Silahisabungan meneruskan perjalanannya ke arah utara dan tinggal di Tolping sedangkan Si Raja Oloan harus ke Pangururan. Huta Tolping dan pulau Tolping dikukuhkan Silahisabungan sebagai tempatnya yang pertama dan selama menetap di Tolping ia kawin dengan Pinta Haomasan boru Baso Nabolon putri Sorbadijulu dari Pangururan sebagai upahnya membantu Sorbadijulu mengusir musuhnya marga Lontung. Perkawinan mereka berdua melahirkan seorang anak yang diberi nama Silalahi. Sesudah kelahiran anak putra ini, Pinta Haomasan tidak pernah mengandung lagi.


Raja Silahisabungan adalah seorang tokoh yang sakti, sanggup mengusir bala atau penyakit, pintar dan sabungan di hata. Didorong oleh kesaktiannya inilah Raja Silahisabungan selalu ingin pergi ke tempat lain manangdangkon kedatuon (menguji kepintaran/ketangkasan). Dari Parbaba yang sekarang dilihatnya di seberang danau ada tanah datar dan perbukitan yang indah mendorong niatnya untuk pergi ke sana. Sebelum bepergian, sudah dipersiapkan membawa sedikit tanah dan air dalam kendi kecil. Sesampainya Raja Silahisabungan di daerah itu, di pinggiran danau didirikan panca-panca sebagai tempat tinggal sekaligus tempat menangkap ikan.


Suatu ketika Raja Pakpak datang dan heran di daerah hutan di pinggir danau yang sepi itu ada orang, lalu didekatinya. Pada awalnya Raja Pakpak ingin berdebat mengenai keberadaan Raja Silahisabungan di daerah kekuasaannya itu, akan tetapi setelah memperhatikan ketangkasannya berbicara akhirnya ia mengalihkan pembicaraan mengenai teman hidupnya dan menawarkan putri-putrinya menjadi istri Raja Silahisabungan. Raja Silahisabungan menyambut baik tawaran Raja Pakpak dan sebagai istrinya dipilihlah Pinggan Matio boru Padang Batanghari. Perkawinan Raja Silahisabungan dengan Pinggan matio boru Padang Batanghari melahirkan 7 (tujuh) putra dan seorang putri masing-masing diberi nama Sihaloho, Situngkir, Sondiraja, Sidebang, Sinabutar, Sinabariba dan Pintubatu sedangkan putrinya bernama Deang Namora.


Dalam kultur Tapanuli, ketika seseorang membuka satu perkampungan (huta) maka ia akan menobatkan dirinya sebagai raja Sipukka Huta (disebut sebagai raja, sebab ia merupakan orang pertama yang merintis perkampungan tersebut). Sehingga ia dan keturunannya (ahli waris) akan selalu dihormati sepanjang perjalanan masa (sampai saat ini), bahwa keturunan tersebut akan tetap disebut sebagai keturunan Sipukka Huta. Artikulasi raja dalam kultur Tapanuli tidak seperti arti harafiahnya (bahasa indonesia umumnya) yang memaknai raja sebagai penguasa yang memiliki kekuasaan, pasukan dan istana kerajaan. Arti raja dalam bahasa Tapanuli adalah sebagai sosok (figur) yang sangat dihormati dan dipandang tinggi dan sangat disegani, yaitu orang yang memiliki otoritas untuk memberi berkat-berkat (petuah) dan juga bisa mendatangkan kutuk-kutukan bagi orang-orang yang diserapahinya. Demikian halnya dengan Silahisabungan.


Ketika ia membuka perkampungan bagi keturunannya di Huta Lahi (kemudian disebut sebagai Silalahi Nabolak, Pakpak, Dairi), maka ia dipanggil dengan Raja Silahisabungan. Dan keturunannya disebut keturunan Pomparan (keturunan) Raja Silahisabungan. Silalahi Nabolak itu bukan huta tetapi desa (wilayah) karena daerah lingkupnya tidak hanya tanah perkampungan yang dikelilingi bambu akan tetapi tanah di luarnya yang masih kosong. Warga desa diikat oleh hubungan darah dan merupakan turunan dari satu leluhur dan pada umumnya mempunyai marga yang sama (artinya beberapa marga). Huta adalah deretan rumah yang dikelilingi pohon bambu yang lebat dan di gerbang kampung biasanya ada pohon ara/hariara. Adat dalihan natolu ialah penghuni setiap huta adalah turunan dari satu leluhur pria artinya satu. Dari pengertian huta dan desa ini dapat dikatakan bahwa di desa Silalahi Nabolak masih ada huta milik marga lain, misalnya huta Sihaloho, huta Situngkir dan lain-lain sedangkan nama huta Silalahi sudah pasti tidak ditemukan di sana karena marga Silalahi anak Silahisabungan terdapat di Silalahi Nabolak.


Sejak dahulu kala, keturunan Raja Silahisabungan kemudian mendiami perkampungan Huta Lahi. Masing-masing marga keturunannya memiliki satu lahan perkampungan. Penamaan perkampungan itu sesuai dengan penamaan marga keturunannya. Selain itu, dahulu kala seorang kepala atau raja Sipukka Huta akan mengadakan pesta besar dengan mengundang kerabat-kerabat dan tetangga kampung untuk merayakan sekaligus mendeklarasikan keberadaan mereka di tanah dan perkampungan tersebut. Dengan demikian , pihak-pihak lain tidak dapat seenaknnya untuk menguasai atau mendiami wilayah tersebut. Sampai saat ini, keturunan Raja Silahisabungan masih dapat menikmati peninggalan nenek moyang Raja Silahisabungan di Silalahi Nabolak, yaitu tanah peninggalan yang diberi nama sesuai dengan penamaan marga-marga keturunan Raja Silahisabungan. Kemudian para keturunan ini, saat ini membuat Tugu Makam Raja Silahisabungan (Tumaras) sebagai lambang dan penghargaan kepada nenek moyang mereka di Silalahi Nabolak. Dan setiap tahunnya, para keturunan ini mengadakan pesta besar (bahasa Tapanuli=Bolon) atau Luhutan Bolon untuk menghormati leluhur mereka. Sementara ini, secara bergantian para marga-marga keturunannya secara bergantian sebagai pelaksana perhelatan Luhutan Bolon tersebut.


Pada ketika itu, Raja Silahisabungan datang ke Sibisa Uluan untuk manndanghon hadatuon (bertanding ilmu). Kepergian kali ini adalah menuju Sibisa juga dikarenakan oleh kerinduannya melihat daerah yang pernah dilaluinya bersama adiknya Siraja Oloan sewaktu mereka akan mencari tempat tinggal yang baru. Raja Silahisabungan adalah seorang yang sakti. Ia sering mengembara dan mengadu kekuatan ilmu kesaktian sampai ke Simalungun, Samosir dan Karo. Adalah Siboru Nailing boru Nairasaon yang merupakan puteri Raja Mangarerak, seorang raja yang terkenal di Sibisa Uluan. Siboru Nairing adalah gadis primadona di Uluan, rambutnya bagaikan mayang terurai, bibirnya bagaikan delima merekah, pipinya merah merona, pemuda yang melihatnya akan geleng- geleng kepala terpesona, melihat kecantikan Siboru Nailing yang tidak ada tandingannya.
Banyak pemuda dan anak raja ingin meminangnya, tetapi terganjal karena Siboru Nailing adalah puteri pingitan yang sudah dijodohkan dengan seorang putera raja dari pulau Sibandang. Siboru Nailing pun menjadi puteri rebutan, untuk mencapai tujuan, para pemuda yang ingin mempersunting menggunakan segala cara termasuk mencari dukun untuk mengguna-gunai Siboru Nailing. Karena banyaknya persaingan akhirnya Siboru Nailing terkena dorma sijundai (Dorma Sisunde) yang sulit diobati. Raja Mangarerak pun mulai gelisah melihat puterinya terkena dorma sijundai.


Berita kedatangan Raja Silahisabungan ke Sibisa membuat hati Raja Mangarerak menjadi lega, karena diketahuinya Raja Silahisabungan adalah dukun besar (datu balon) yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kemudian Raja Mangarerak memanggil Raja Silahisabungan untuk mengobati putrinya Siboru Nailing. Raja Silahisabungan membuka Laklak Tumbaga Holing (sejenis buku dokumen dari kulit kayu) untuk melihat petunjuk apa penyebab penyakit itu, lalu berkata: “Penyakit puteri raja disebabkan persaingan tidak sehat, setan dan iblis selalu datang mengganggu sehingga ia selalu mengigau. Pengobatannya agak lama karena rohnya (tondika) sudah ditawan dalam gua. Namun walaupun demikian, berkat pertolongan Tuhan penyakit akan dapat disembuhkan, tetapi apakah upah saya?” katanya. Raja Mangarerak terkejut mendengar penyakit Siboru Nailing, lalu berkata: ”Segala permintaanmu akan saya kabulkan asalkan penyakit putriku dapat disembuhkan,” katanya dengan pasrah.


Mendengar pernyataan Raja Mangarerak ini, Raja Silahisabungan mulai bekerja mengobati Siboru Nailing. Baru beberapa hari diobati, tanda-tanda kesembuhan pada penyakit Siboru Nailing mulai nampak. Selama Siboru Nailing dalam pengobatan, rasa cinta dan kasih sayang bersemi di hati mereka berdua. Setelah penyakit Siboru Nailing sembuh, Raja Silahisabungan mengungkapkan rasa cintanya kepada Siboru Nailing. Siboru Nailing hanya terdiam dan menjawab dalam pandangan, bahwa ia pun mempunyai perasaan yang serupa seperti yang dirasakan Raja Silahisabungan kepadanya, walaupun umur tidak sebaya. Dengan hanya menganggukkan kepala ia menyatakan cintanya. Setelah sembuh, Raja Silahisabungan menyampaikan kepada Raja Mangarerak bahwa pengobatannya telah usai. Raja Mangarerak merasa gembira dan bermaksud mengadakan pesta syukuran, sambil membayar hutang kepada Raja Silahisabungan, raja-raja dan penduduk negeri diundang tanda rasa suka cita.


Setelah acara pesta syukuran selesai, Raja Mangarerak menyediakan emas dan uang, lalu bertanya kepada Raja Silahisabungan. ”(Ala nungnga malum borungku sian parsahitonna, husungkunma jolo hamu amang, Aha do sipangidoanmu sian ahu?) Karena putriku sudah sembuh aku mau bertanya kepadamu, apa permintaanmu dariku?” katanya sambil mengambil emas dan uang dari pundit-punditnya. ”Raja yang Mulia dan yang saya hormati. Saya tidak butuh uang dan emas, tetapi sesuai dengan perjanjian kita, apa yang saya minta upahku akan raja kabulkan. Rasa kasih sayang mengobati, menimbulkan bersemi cinta di hati, kiranya Mulajadi Nabolon (Tuhan) dan raja memberkati, saya tidak meminta upah tetapi aku menginginkan Siboru Nailing menjadi teman sehidup semati,” kata Raja Silahisabungan dengan hormat.


Mendengar ucapan Raja Silahisabungan itu, Raja Mangarerak dan para undangan tercengang karena umur Siboru Nailing masih muda. Raja Mangarerak dan para undangan saling berpandangan, permintaan Raja Silahisabungan ini sulit dibayangkan tetapi tidak berani menolak. “Saya tidak menolak permintaanmu itu tetapi kasihanilah kami di negeri ini, karena Siboru Nailing telah dipaorohan (dijodohkan) dengan anak namboruku, putera raja dari Sibandang, apabila Siboru Nailing kau persunting, negeri ini akan diserang. Penduduk di Sibisa pun akan susah”, kata Raja Mangarerak meminta pengertian. “Dengke ni sabulan tu tonggina tu tabona, manang ise siose padan tu ripurna tu magona (janji harus ditepati, bila dilanggar akan timbul mara bahaya), mengenai keamanan negeri dan serangan dari raja pulau Sibandang, sayalah tanggung jawabnya. Selama saya berada di daerah ini tidak akan terjadi apa-apa,” kata Raja Silahisabungan meyakinkan. Karena takut menolak permintaan Raja Silahisabungan, raja-raja dan para undangan memberi saran. ”Karena Raja Silahisabungan telah memberi jaminan, kita tanyalah putri kita Siboru Nipohan, apakah dapat menerimanya.” Kemudian Raja Mangarerak dan para undangan menanyai Siboru Nailing apakah dapat menerima permintaan Raja Silahisabungan itu. Ternyata Siboru Nailing pun ternyata menyimpan perasaan cinta kepada Raja Silahisabungan dan dia langsung menyetujuinya.


Mendengar ungkapan hati nurani Siboru Nailing yang memang sudah mencintai Raja Silahisabungan, Raja Mangarerak dan para undangan pun merasa terkejut karena pernyataan itu merupakan ungkapan hati nurani yang paling dalam. Kemudian Raja Mangarerak pun mengeluarkan pernyataannya. “Para undangan yang saya muliakan, hari ini adalah pesta syukuran dan sekaligus pesta perkawinan putri kita dengan Raja Silahisabungan, marilah kita mamasu-masu (memberi berkat) semoga Mulajadi Nabolon memberi kebahagiaan kepada mereka berdua,” katanya kepada raja-raja dan para undangan. Raja Mangarerak sebenarnya berat sekali memenuhi permintaan tersebut pada awalnya, karena putrinya sudah di jodohkan ke anak namborunya. Akhirnya dia pun dengan berat hati tidak bisa menolak permintaan Raja Silahisabungan tersebut dan akhirnya ditemukan jalan keluar di mana Raja Silahisabungan bisa memperistri Siboru Nailing, tetapi cukup saurang (hanya punya anak satu).


Berita perkawinan Siboru Nailing tersiar sampai ke pulau Sibandang. Membuat lelaki oroan (tunangan) menjadi marah. Tidak berapa lama setelah perkawinan itu, tanda-tanda kehamilan Siboru Nailing mulai kelihatan dan Raja Silahisabungan walaupun gembira menerimanya tetapi tumbuh sedikit kekhawatiran kalau lelaki oroan akan datang pada saat anak dalam kandungan belum lahir. “Saya bapaknya, orang lain yang memeliharanya dan membesarkannya bagaimana nantinya nasib anak ini?” demikian terngiang-ngiang dalam pikiran Raja Silahisabungan. Setelah Siboru Nailing mengandung enam bulan, tersiar kabar di Sibisa, lelaki oroan akan datang menuntut balas dengan membawa parangan (pasukan) dari pulau Sibandang. Mendengar berita itu, Raja Mangarerak gelisah dan meminta Raja Silahisabungan membawa Siboru Nailing meninggalkan Sibisa. Raja Silahisabungan meyakinkan Raja Mangarelak lagi. ”Kampungku sangat jauh amang (bapak), tak mungkin membawa isteri dalam keadaan hamil tua. Amang jangan takut dan resah mendengar berita itu. Selama saya berada di negeri ini tidak akan terjadi apa-apa.” Mendengar alasan itu, Raja Mangarerak tidak dapat memaksakan kehendak. Kemudian Raja Silahisabungan pergi ke bukit Sigapiton untuk membuat penangkal agar musuh tidak bisa mendekat.
Setelah Siboru Nailing melahirkan seorang anak laki-laki, Raja Silahisabungan membuka penangkalnya sehingga pasukan musuh pun sudah semakin dekat. Karena pasukan lelaki oroan sudah mengepung daerah Sibisa, Raja Mangarerak mendesak agar Raja Silahisabungan bersama anak isterinya segera meninggalkan Sibisa. Kemudian Raja Silahisabungan berkata kepada isterinya. ”Ibu tersayang, pasukan lelaki oroan sudah mengepung kampung ini. Mereka berencana akan membunuh saya. Orang tua kita Raja Mangarerak pun sudah mendesak agar kita segera berangkat, padahal keadaanmu belum mengijinkan. Bagaimana kalau saya saja bersama anak kita lebih dahulu berangkat, kalau kau sudah sehat dan tenagamu sudah pulih, aku akan kembali untuk menjemputmu,” katanya membujuk Siboru Nailing.



Mendengar alasan Raja Silahisabungan itu dan memikirkan desakan Raja Mangarerak, istrinya Siboru Nailing menjawab. ”Amang boru, aku sangat mencintaimu dan anak kita ini. Selamatkanlah dirimu dengan anak kita ini, biarlah saya tinggal menanggung derita, ini sebuah cincin (tintin tumbuk) kalau anakku ini sudah besar berikanlah kepadanya sebagai pertanda bahwa akulah ibu yang melahirkannya,” katanya dengan terharu sambil menyerahkan tintin tumbuk itu. Siboru Nailing pun menangis tersedu-sedu. “Saya tidak rela melepas anak ini, menetek pun belum bisa dan lagi pula air susu siapakah yang mungkin ada untuk menghidupinya?” Sambil bersenandung. “Ale Ompung Mulajadi Nabolon, panongosmi di au leang-leang mandi, pangalu-aluhon tua ahu ale Ompung molo ingkon mate anakkon ala so minum.”



Kemudian Raja Silahisabungan bersama bayi yang baru lahir berangkat meninggalkan negeri Sibisa setelah pamit dari mertuanya Raja Mangarerak. Mereka berbekal susu kerbau, anak bayi dimasukkan ke dalam gajut. Cincin (tintin tumbuk) Siboru Nailing ada sepasang, satu diberikannya kepada Raja Silahisabungan dan satu lagi tinggal bersama Siboru Nailing, jadi ketika anak ini ketemu lagi dengan ibunya, maka dicocokkanlah sepasang cincin tersebut dan ternyata sama. Dari sinilah nantinya akan diketahui bahwa ia adalah anaknya.



Sesudah Raja Silahisabungan berangkat, pasukan lelaki oroan pun tiba di kampung Raja Mangarerak, mereka bertanya pada Raja Mangarerak. “Di mana Siboru Nailing dan di mana lelaki suami itu, biar kubunuh,” kata lelaki oroan itu. Raja Mangarerak menjawab. ”Siboru Nailing sedang di mandadang (perapian) sedangkan suaminya telah pergi bersama anaknya.” Lelaki oroan itu merasa sedih. “Ndang diau be amang, jolmanaung marhamulian, alai tong ma au ingot hamu boru hasian, parjampar diadaran parbagian dibalian,” katanya sambil merenungi nasib dirinya. Siapakah pemuda oroan Siboru Nailing itu?



Di dalam perjalanan bersama bayi ini, timbul pertanyaan dalam hati Raja Silahisabungan apakah istrinya akan memperlakukan dan menerima bayi ini sebagai anak kandungnya. Karena kekhawatiran itu, sesampainya Raja Silahisabungan di Tolping Ambarita, gajut yang berisi bayi tadi digantungkan di sendal sopo sebelum bertemu dengan Pinta Haomasan boru Baso Nabolon istrinya itu. Melihat Raja Silahisabungan datang, istrinya menyambutnya dengan riang gembira. Akan tetapi air mata Raja Silahisabungan menampakkan permasalahan yang sedang mengganjal pikirannya sehingga memancing Pinta Haomasan untuk bertanya. “Kedatangan Bapak kali ini berbeda dengan yang sudah-sudah, ada masalah apa yang dihadapi marilah kita pecahkan secara bersama.” Pertanyaan dan pengertian Pinta Haomasan membuat Raja Silahisabungan menjadi lega dan berkata. “Lihatlah di dalam Gajut yang kugantung di sendal sopo, itulah yang mengganjal pikiran saya.” Pinta Haomasan segera beranjak dan berlari menuju sendal sopo itu untuk segera mengetahui permasalahan suaminya. “Astaga, teganya Bapak mempelakukan bayi seperti ini, kenapa tidak lagsung dibawa ke rumah, kalau sempat meninggal karena tidak minum bagaimana!” Si bayi langsung dikeluarkannya dari gajut dan dipangkunya dengan penuh kasih sayang, Raja Silahisabungan dimintanya untuk menyalakan api di tungku, dihamparkannya tikar dan dia pun duduk bersama dengan bayi itu layaknya seperti yang baru melahirkan. Raja Silahisabungan mengambil dan memasak bangun-bangun (jenis tumbuhan herbal) dan Pinta Haomasan pun berdoa. “Sintong do ahu nahurangan dijolma ale Ompung Debata, ai holan sada do anak hutubuhon, sai unang ma tampuk sahali manang nibagot tinunggoman, Sintong mai langu, maraek ma bahen bagottu asa unang mahiang tolonan ni anakkon.” Setelah memanjatkan doa, buah dadanya membesar lalu puting susunya dimasukkan ke dalam mulut si bayi, dihisap dengan sangat lahap dan dengan kegembiraan yang meluap-luap kegirangan dia berkata. “Sudah tambun (tambah) anakku, Amang.” Dia menyusui bayi itu sampai remaja dan diberinya nama si Raja Tambun. Di sinilah awal mula kisah si Raja Tambun dimulai.



Sore hari, anaknya Silalahi pulang dari berladang, Silalahi merasa keheranan dengan ibunya yang tidak hamil tapi sudah bersalin. Keheranan Silalahi ditangkap oleh Raja Silahisabungan dan dia pun mengumpulkan Silalahi dan ibunya Pinta Haomasan berkumpul dan berikrar bahwa keadaan ini tidak boleh diketahui oleh siapa pun, termasuk kepada si Raja Tambun jika dia sudah besar nanti, cukup hanya mereka bertiga yang mengetahui rahasia ini. Jadi itulah sebabnya di Tolping Ambarita, tidak dikenal Tambun Raja nama si Raja Tambun karena Pinta Haomasanlah yang menyusui, memelihara, membesarkan dan memberi namanya. Raja Silahisabungan dan Pinta Haomasan sangat sayang kepada Raja Tambun ini dan setelah dia mulai beranjak remaja, ke mana pun Raja Silahisabungan pergi Raja Tambun harus ikut dan makan pun harus sapa (satu piring).



Setelah si Raja Tambun menjadi remaja, Raja Silahisabungan pamit kepada istrinya untuk pergi ke Silalahi Nabolak akan tetapi si Raja Tambun ingin dibawanya bersama. Pinta Haomasan keberatan atas keikutsertaan anak kesayangannya si Raja Tambun akan tetapi Raja Silahisabungan bersikeras untuk membawanya dan akhirnya disetujui dengan pesan. “Jagalah anak kita ini baik-baik termasuk misteri kelahirannya.” Jadi berangkatlah mereka berdua ke sana dan sesampainya mereka di Silalahi Nabolak, istrinya Pinggan Matio boru Padang Batanghari bertanya. “Inikah anak kita yang Bapak ceritakan yang ada di Tolping, kenapa masih kecil? seharusnya sudah harus lebih besar dari anak-anak kita di sini.” Sewaktu menjawab pertanyaan inilah Raja Silahisabungan kelepasan bicara karena tidak bisa menguasai dirinya sehingga dia lupa akan ikrarnya di Tolping mengenai misteri si Raja Tambun. Akhirnya semua rahasia diberitahukan kepada isterinya Pinggan Matio boru Padang Batanghari. Telah dijelaskan bahwa kasih sayang Raja Silahisabungan kepada Raja Tambun memang melebihi terhadap anaknya yang lain (Sihaloho, Situngkir, Sondiraja, Sidebang, Sinabutar, Sinabariba dan Pintubatu) dan kebiasaan di Tolping itu terbawa-bawa sampai ke Silalahi Nabolak sehingga mengundang kecemburuan dan kurang senangnya anak-anak yang lain atas sikap ayahnya. Kecemburuan semakin merebak manakala Raja Silahisabungan mengadakan tano golan (pembagian tanah) kepada anak-anaknya agar jangan terjadi persoalan di kemudian hari, tetapi dalam pembagian itu si Raja Tambun mendapat tanah yang paling luas dan subur.


Masalah besar bermula di mana suatu ketika si Raja Tambun ingin mengikuti abang-abangnya ke ladang lalu permisi kepada Raja Silahisabungan. Abang-abangnya sangat senang atas permintaan itu karena mereka tengah merencanakan sesuatu yang tidak baik untuk melampiaskan kecemburuan mereka kepada si Raja Tambun ini. Setelah di ladang, dipertanyakanlah kepada si Raja Tambun siapa ibunya, lahirnya di mana dan pertanyaan lain-lain untuk memancing emosinya dan akhirnya mereka berkelahi sampai tangan si Raja Tambun cedera dan malah ada keinginan untuk membunuhnya.


Rupanya Pinggan Matio boru Padang Batanghari juga telah memberitakan mengenai misteri kelahiran si Raja Tambun ini kepada anak-anaknya, hanya saja tidak disebut nama ibunya atau tempat kelahirannya. Si Raja Tambun dengan cedera yang dideritanya menjumpai bapaknya Raja Silahisabungan dan memberitakan bahwa ibu yang di Tolping Ambarita ternyata bukan ibu yang melahirkannya dan tempat kelahirannya bukan di Tolping serta ke manapun ia mencari pamannya tidak akan ketemu. Raja Silahisabungan sangat marah kepada anak-anaknya atas perlakuan buruk mereka terhadap anak kesayangannya si Raja Tambun dan berkata. “Kalau anak-anakku tidak bisa rukun saya tidak akan kalian lihat meninggal (ndang tauluttonon muna au mate).” Walaupun cedera tangan si Raja Tambun bisa diobati, di Silalahi Nabolak pikirannya sudah tidak senang lagi, ingin cepat-cepat menanyakan informasi yang didengarnya kepada ibunya Pinta Haomasan dan sejak itu mendesak Raja Silahisabungan untuk segera pulang ke Tolping. Melihat keadaan si Raja Tambun serta pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya, Raja Silahisabungan akhirnya memutuskan untuk segera membawa si Raja Tambun pulang ke Tolping.


Namun sebelumnya, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, Raja Silahisabungan menyuruh Pinggan Matio menempa Sagu-Sagu Marlangan berbentuk manusia yang ditempatkan di dalam ampang (sejenis bakul). Mereka pergi ke Maras dan dibentangkanlah tikar tempat mereka duduk. Raja Silahisabungan, Pinggan Matio bersama dengan Daeng Namora putrinya duduk menghadap ampang berisi Sagu-Sagu Marlangan, lalu disuruhnya Sihaloho, Sondiraja, Sinabariba dan Pintubatu duduk di sebelah kanannya. Situngkir, Sinabutar dan Sidebang disuruhnya duduk di sebelah kiri mereka. Sedangkan si Raja Tambun disuruh duduk di depannya sama-sama menghadap ampang berisi Sagu-Sagu Marlangan. Setelah mereka semua duduk berkumpul mengelilingi ampang berisi Sagu-Sagu Marlangan itu, Raja Silahisabungan berdiri dan berdoa kepada Mulajadi Nabolon, lalu menyampaikan wasiatnya yang terkenal dengan “Poda Sagu-Sagu Marlangan” yang isinya:
Hamu anakku na ualu:
1. Ingkon masihaholongan hamu sama hamu dohot rodi pomparan muna be.
Hendaklah kamu saling mengasihi satu sama lain hingga kepada seluruh keturunanmu.
2. Naso tupa dohonon muna naso saama-saina hamu napitu dohot si Tambun Raja, jala ingkon sisada boru do hamu.
Janganlah menyebut bahwa kalian bertujuh tidak mempunyai satu ibu dengan adikmu Tambun Raja, dan harus sisada boru.
3. Hamu napitu dohot angka pinomparmu, ingkon humolong rohamu di boru nianggimuna si Tambun Raja rodi pomparanna, jala hope Tambun Raja dohot sandokpomparanmu ingkon humolong roham di boru ni angka haham rodi pomparanna.
Kalian bertujuh beserta keturunanmu, harus lebih sayang kepada putri adikmu Tambun Raja dan keturunannya, dan kamu pun Tambun Raja dan beserta seluruh keturunanmu harus lebih sayang kepada putri abangmu beserta keturunannya.
4. Naso jadi olion ni napitu pomparanni anggimmu si Tambun Raja on, jala nasojadi olion ni pomparan ni Tambun Raja pomparan ni sude haham napitu on.
Kalian bertujuh dan seluruh keturunanmu tidak boleh menikah dengan seluruh keturunan adikmu Tambun Raja, demikian juga kamu Tambun Raja beserta seluruh keturunanmu tidak boleh menikah dengan seluruh keturunan abangmu yang tujuh ini.
5. Naso tupa pungkaonmu bada manang salisi, ia adong parbadan dihamu napitusahat rodi pomparan muna, sandok ingkon anggimuna ma manang pomparannasibahen dame dihamu, mambahen uhum na tingkos jala naso boimardingkan, ingkon oloan jala tung so jadi juaon muna, laos songoni ho Tambun Raja, ia adong parbadan di pomparan muna, sandok ingkon sian pomparan nihaham napitu on ma sibahen dame jala sidabu uhum natingkos, naso tupamardingkan, jala naso jadi juaon muna, jala molo adong parbadan dihamu nasotupa dohot halak naasing laho pasaehon.
Tidak boleh memulai pertengkaran dan perselisihan, bila ada perselisihan di antara kalian bertujuh dan seluruh keturunanmu, yang menjadi juru damai adalah dari Tambun Raja dan dari keturunannya, membuat suatu hukum yang adil dan tidak memihak dan harus kalian patuhi. Demikian juga kamu Tambun Raja, bila ada perselisihan di antara keturunanmu, dan sebagai juru damai haruslah dari ketujuh abangmu ini atau dari keturunannya yang memberikan hukum yang adil dan tidak memihak dan harus kamu patuhi, dan bila ada perselisihan di antara kalian dan keturunanmu, tidak boleh marga lain ikut campur untuk menyelesaikannya.



Kemudian Raja Silahisabungan duduk dan menyuruh anak-anaknya menjamah Sagu-Sagu Marlangan itu sebagai tanda kesetiaan dan ikrar yang harus dijunjung tinggi. Kedelapan anak Raja Silahisabungan pun menjamah Sagu-Sagu marlangan itu sambil berkata. “Sai dipargogoi Mulajadi Nabolon ma hami dohot pomparan nami mangulahon poda na nilehonmi amang (semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan kepada kami dan keturunan kami untuk melakukan amanah yang Bapak berikan),” kata mereka bergantian. Amanah (Poda) yang dibuat oleh Raja Silahisabungan ini bertujuan untuk mempersatukan semua keturunan Raja Silahisabungan di masa mendatang sampai generasi berikutnya dan menjadikan Poda Sagu-Sagu Marlangan sebagai dasar pandangan hidup kekeluargaan bagi seluruh keturunan Raja Silahisabungan. Intinya semua keturunan (anak laki-laki) dari Raja Silahisabungan dari kedua istrinya memiliki hak yang sama dan harus saling menghormati, menghargai, rukun dan guyub. Sanksi yang diterima jika melanggar Poda Sagu-Sagu Marlangan ini tidak seperti hukum yang tertulis, namun dikucilkan dari sosialisasi Silahisabungan karena telah melanggar amanah leluhur. Kepatuhan keturunan Silahisabungan terhadap Poda Sagu-Sagu Marlangan masih tetap dipertahankan dengan memiliki prinsip “Si sada anak si sada boru,” yang masih tetap dijaga sampai sekarang dari bona pasogit (kampung halaman) dan sampai di luar kampung halaman.


Setelah acara di Maras Simarampang selesai, Raja Silahisabungan bersama istrinya Pinggan Matio beserta putra putrinya kembali lagi ke Huta Lahi untuk mempersiapkan bekal si Raja Tambun yang akan kembali ke Tolping bersama bapaknya. Si Raja Tambun bersalam-salaman dengan abang-abangnya sambil memberikan doa restu. Sewaktu menyalami Pinggan Matio, ibunya itu mendekap si Raja Tambun dan berkata. “Unang lupa ho amang di au inangmu na patarus-tarus dohot na pagodang-godang ho,” katanya sambil mendoakan si Raja Tambun selamat dan berbahagia kelak. Mendengar kata-kata Pinggan Matio, itona (saudarinya) Deang Namora menangis lalu merangkul dan mencium si Raja Tambun, dengan rasa pilu dan sedih ia berkata. “Borhat ma ito tu huta ni tulangta, na denggan i ma paboa tu inang pangintubu, gabe jala horas ma ho amang na burju,” katanya dengan terisak-isak.


Sesampainya di Tolping Ambarita, ibunya Pinta Haomasan berusaha memulihkan cedera tangan anaknya itu, namun di balik itu Raja Tambun sudah mulai mempertanyakan mengenai dirinya, ibu yang melahirkannya dan lain-lain karena menurut abang-abangnya di Silalahi Nabolak ia tidak lahir di Tolping dan ibu yang melahirkannya bukan ibu Pinta Haomasan sehingga ke manapun ia pergi tidak akan pernah bisa menemui pamannya. Pinta Haomasan berusaha memberikan pengertian kepada si Raja Tambun bahwa apa yang telah didengarnya dari abang-abangnya di Silalahi Nabolak itu tidak benar. “Sayalah ibumu dan pamanmu adalah Simbolon di Pangururan,” begitu kata Pinta Haomasan kepada si raja Tambun. Kasih sayang Pinta Haomasan kepada Raja Tambun tidak membuatnya berhenti untuk mencari kebenaran informasi yang didengarnya. “Tidak ada asap kalau api tidak ada dan tidak mungkin kata-kata itu timbul di Silalahi Nabolak bila mana ibu yang melahirkanku adalah ibu Pinta Haomasan ini,” kata si Raja Tambun.


Raja Tambun adalah seorang anak yang cerdik, dia menyadari kasih sayang Raja Silahisabungan kepadanya, Pinta Haomasan maupun abangnya Silalahi kepadanya. “Tidak mungkin saya memperoleh jawaban yang memuaskan kalau pertanyaannya tidak saya ubah,” pikirnya. Abangnya Silalahi didekatinya untuk mengkorek rahasia kesaktian bapaknya si Raja Silahisabungan. Silalahi dengan penuh kepolosan karena menurutnya tidak ada hubungannya dengan misteri si Raja Tambun pun menjawab. “Kalau pakaiannya tidak lengket kepada badannya, apapun yang kita tanya pasti dijawabnya dengan benar.” Pengetahuan baru dari Silalahi ini disimpan dalam hatinya, lalu pada suatu ketika sewaktu Raja Silahisabungan akan pergi mandi, Raja Tambun minta ikut. “Inilah kesempatan untuk mengambil pakaiannya,” pikirnya. Sewaktu Raja Silahisabungan sedang asyik mandi, seluruh pakaiannya diambil oleh Raja Tambun dan pedangnya dipegang dalam tangannya, lalu ia mulai mengancam bapaknya. “Bapak jangan selalu bohong, ceritakan secara jelas siapa sebenarnya ibu yang melahirkan saya, di mana saya lahir dan siapa pula pamanku, apabila tidak diceritakan akan saya bunuh!” Raja Silahisabungan dengan terpaksa karena tidak bisa keluar dari air itu memberitahu kisah dan informasi yang sebenarnya, lalu Raja Tambun pun menyerahkan kembali pakaian itu dan sesudah sampai di rumah, kejadian itu diceritakan oleh Raja Silahisabungan kepada istrinya Pinta Haomasan, termasuk kelalaiannya sangat membocorkan misteri kelahiran si Raja Tambun kepada Pinggan matio di Silalahi Nabolak.


Ibunya Pinta Haomasan sangat meratapi akan perpisahannya dengan anak kesayangannya itu. Si Raja Tambun kalau pun akan pergi mencari ibu yang melahirkannya, sebelumnya harus dibuat padan dengan abangnya Silalahi agar mereka berdua tetap marsitogu-toguan, tondina masigonggoman dan tanggal pelaksanaan pun ditentukan. “Kita berangkat, anakku,” dirangkul dan ditangisi oleh Raja Silahisabungan yang mengantarnya waktu itu.



Di sepanjang perjalanan mereka dari Tolping menuju Sibisa Uluan, Raja Silahisabungan menceritakan kisah perkawinannya dengan Siboru Nailing boru Nairasaon puteri Raja Mangarerak di Sibisa Uluan. “Karena perkawinan kami dahulu mempunyai masalah jadi kemungkinan kehadiranmu di Sibisa ini akan menimbulkan persoalan, jadi kau anakku harus berhati-hati dan pandai bergaul,” Raja Silahisabungan berpesan kepada si Tambun Raja. “Di samping ilmu yang kau miliki perlu kau ingat “pantun hangoluan, tois harmagoan” bila anakku berperangai sopan (santun, porman, toman) dalam hidupmu, maka tercapailah kebahagiaan hidup dan apabila kamu tois (lengah) menghadapi masalah akan timbul malapetaka. Di kampung kita, perasaanmu sangat sedih karena perbuatan abang-abangmu, tetapi mungkin lebih sakit lagi perasaanmu nanti di Sibisa ini,” kata Raja Silahisabungan lagi sambil menyerahkan sebuah cincin (Tintin Tumbuk) pemberian dari ibunya saat mereka berpisah dahulu. “Cincin inilah yang nanti kau tunjukkan, pertanda kau adalah anak kandung Siboru Nailing,” katanya kepada si Raja Tambun.



Setelah mereka berdua tiba di Sibisa Uluan, Raja Silahisabungan mendengar kabar kabar bahwa Siboru Nailing belum juga kawin, lalu ia menerangkan ciri-ciri Siboru Nailing ini kepada si Raja Tambun. Kemudian Raja Silahisabungan membawa si Raja Tambun ke Umbul (mual) Simataniari dan berkata. “Di sinilah kau tunggu ibumu itu, nanti sore ia pasti mandi dan mengambil air dari umbul ini,” katanya dengan penuh keyakinan.



Pada sore harinya, si Raja Tambun melihat seorang perempuan pulang dari umbul membawa air lalu ia menyapanya. “Bu, bolehkah aku meminta sedikit air untuk minum? Aku haus sekali,” katanya meminta belas kasihan. Lalu perempuan itu menjawab dengan tercengang. “Siapakah kamu ito? Dan dari mana asalmu datang ke kampung ini?” sambil memberikan air kepada si Raja Tambun. “Malangnya diriku, manusia yang jatuh dari langit dan lahir dari tunas bambu, yang sudah lama berkelana dan merindukan seorang ibu yang melahirkannya,” katanya dengan penuh sopan santun. Sempat terbersit di benak pikiran Siboru Nailing tentang anaknya yang dibawa Raja Silahisabungan dulu, karena hari sudah sangat sore dia mengajak si Raja Tambun pulang bermalam di rumahnya. “Mulajadi Nabolon akan memberi petunjuk kepadamu nanti,” kata Siboru Nailing sambil mengajak si Raja Tambun ke rumahnya.



Si Raja Tambun sangat senang dan menyambut ajakan perempuan itu karena ia yakin bahwa itulah ibunya sesuai dengan ciri-ciri yang digambarkan oleh Raja Silahisabungan. Setelah mereka tiba di rumah, Raja Mangarerak dan adik laki-laki Siboru Nailing, Toga Manurung pun mempertanyakan siapa si pemuda ini kepada Siboru Nailing. Siboru Nailing pun menjelaskan bagaimana ia bertemu si Raja Tambun ini di Mual Simataniari. “Kasihan aku melihatnya, karena katanya tidak ada ayah dan ibu, karena hari sudah sore maka kuajak ke rumah kita untuk bermalam,” katanya kepada Raja Mangarerak dan Toga Manurung. Raja Mangarerak kurang setuju karena ia khawatir pemuda ini akan membuat masalah seperti halnya dulu masalah yang ditimbulkan oleh Raja Silahisabungan. Toga Manurung mencoba mendinginkan amarah ayahnya. “Jangan begitu ayah, lebih baik kita tanyakan dulu ke pemuda ini apakah dia mau membantu kita.” Setelah mendengar amarah Raja Mangarerak dan pernyataan Toga Manurung, lalu si Raja Tambun menjawab. “Kalau raja menginginkan aku, menjadi hamba pun saya mau,” katanya merendahkan diri karena dia sudah yakin bahwa Siboru Nailing itulah ibu kandungnya tetapi masih disembunyikannya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Sejak hari itu, si Raja Tambun bekerja menjadi pembantu Toga Manurung untuk menggembalakan permahan (ternak) dan pekerjaan-pekerjaan lainnya.


Dari awal pertemuan di Umbul (mual) Simataniari, Siboru Nailing merasa ada kontak batin yang membuat ia semakin sayang melihat pemuda itu (si Raja Tambun) tetapi ia tidak mau bertanya siapa sebenarnya pemuda itu. Walaupun si Raja Tambun adalah pembantu di rumah Toga Manurung, tetapi Siboru Nailing memperlakukannya dengan baik, kalau ia disuruh mengantar nasi kepada si Raja Tambun ke ladang selalu dibuatkannya makanan yang enak bukan makanan untuk seorang pembantu. Mereka berdua sering bercakap-cakap dan bersenda gurau bagaikan seorang ibu dan anak.



Pada suatu siang, seperti biasa Siboru Nailing pergi ke ladang untuk mengantar nasi untuk si Raja Tambun. Karena sinar matahari siang itu sangat terik, Siboru Nailing mengajak si Raja Tambun berteduh di bawah pohon rindang untuk melepas lelah. Sewaktu mereka bercakap-cakap, karena lelah dan kecapean, si Raja Tambun terlena dan tertidur di pangkuan Siboru Nailing. Karena Siboru Nailing pulang terlambat tidak seperti biasanya, Toga Manurung menyusul ke ladang untuk melihatnya. Pada saat itulah Toga Manurung terkejut memergoki si Raja Tambun yang tertidur di pangkuan Siboru Nailing. “Perbuatanmu sudah melanggar hukum dan adat, kau adalah seorang hamba, tetapi berani di pangkuan Siboru Nailing. Orang jahat kau rupanya, kau harus dipasung!” kata Toga Manurung memarahi si Raja Tambun. Siboru Nailing tidak dapat berbuat apa-apa dan si Raja Tambun pun dihukum pasung.



Sejak si Raja Tambun dipasung, terjadilah malapetaka di Sibisa Uluan. Sudah hampir 6 (enam) bulan terjadi musim kemarau panjang yang mengakibatkan tanah Sibisa Uluan menjadi kekeringan. Akibat musim kemarau itu, Toga Manurung mencari dukun untuk “marmanuk diampang” menanyakan penyebab terjadinya malapetaka yang menimpa negeri Sibisa Uluan. Setelah diadakan upacara itu ternyata diketahui bahwa bencana kemarau panjang terjadi karena ada keponakan yang menangis karena tersiksa dan teraniaya, dengan demikian harus dilakukan upacara pukul gendang dan acara tari-tarian kepada keponakan yang tersiksa itu untuk mendatangkan hujan. Raja Mangarerak dan Toga Manurung pun bertanya-tanya siapakah gerangan keponakan mereka yang menangis karena tersiksa dan teraniaya itu. Toga Manurung merasa tidak mempunyai keponakan, anak Siboru Nailing. Lalu Siboru Nailing angkat bicara dan meminta agar Toga Manurung meneliti dulu pemuda yang dipasungnya itu apakah ia anaknya yang dulu dibawa oleh Raja Silahisabungan. Mendengar keterangan dari Siboru Nailing, Toga Manurung lalu membuka pasungan dan bertanya. “Hei anak muda, siapakah kau sebenarnya?”. Pemuda itu menjawab. “Aku adalah Raja Tambun, anak Raja Silahisabungan dari Silalahi Nabolak,” katanya sambil menunjukkan cincin (Tintin Tumbuk) yang diberikan oleh Raja Silahisabungan. Dengan segera Siboru Nailing mendekap si Raja Tambun, merangkulnya erat-erat dan berkata. “Ahu do inangmu pangintubu, nunga gabe ahu hape, nunga hudahop anakku Tambun ni ate-ate urat ni pusu-pusu, ai tintinku do tintin tumbun on na umbun tu sude jari-jari.” (“Akulah ibumu yang melahirkanmu, sudah kupeluk kau, sudah kupeluk anak buah hatiku, urat nadi jantung, cincin ini adalah milikku yang dapat masuk ke semua jari-jari.”)



Toga Manurung menyesali apa yang telah diperbuatnya terhadap Raja Tambun, ia kemudian berkata. “Nunga godang sala nami bere, pandok ni datu ingkon patortoran do ho jala paluan ogung sabungan asa ro udan peremean.” (“Sudah banyak kesalahan kami bere, menurut dukun kau harus dipestakan dengan memukul gendang baru turun hujan pembawah berkah.”) Lalu si Raja Tambun meminta permisi kepada tulang (paman) Toga Manurung untuk menjemput abang-abangnya dari Silalahi Nabolak. Demikian setelah adanya pengakuan Toga Manurung akan “Patortoran” si raja Tambun, langit pun langsung mendung dan tidak lama turunlah hujan lebat yang membuat penduduk negeri merasa gembira. Seketika langit pun mendung dan hujan turun dengan lebatnya membuat penduduk merasa gembira. Melihat tanda-tanda yang menggembirakan ini, berkatalah Raja Mangarerak. “Tidak boleh cucuku si Raja Tambun pergi ke Silalahi Nabolak, lebih baik kita suruh kaum kerabat menjemput abang-abangnya.” Ia khawatir kehilangan jejak si Raja Tambun lagi dan dikumpulkannya semua kaum kerabat dan raja-raja untuk memberitakan pelaksanaan acara pesta “gondang sabangunan patortorhon si Raja Tambun dipogu ni alaman” sambil mengutus beberapa orang untuk menjemput abang-abang si Raja Tambun dari Silalahi Nabolak.



Kaum kerabat dan raja-raja yang diundang berkata. “Sudah bahagia Siboru Nailing, sudah dewasa anaknya. Ada juga puteri raja Toga Manurung gadis remaja bernama Pinta Haomasan. Karena kedatangan si Raja Tambun membawa berkah, jika raja berkenan, bagaimana kalau pada pesta ini mereka kita kawinkan!” kata para undangan memberikan usulan. Ternyata Toga Manurung juga mempunyai niat serupa untuk menjaga agar si Raja Tambun tetap tinggal di Sibisa dan dia pun menanyakan pendapat putrinya si Ponta Haomasan apakah setuju dikawinkan dengan si Raja Tambun atau tidak. Ternyata Pinta Haomasan juga setuju untuk dikawinkan dengan si Raja Tambun. Pada pesta “patortor” si Raja Tambun dan perkawinannya dengan si Pinta Haomasan boru Manurung, datanglah abang-abang si Raja Tambun dari Silalahi Nabolak marsolu bolon (naik perahu besar) menghadiri pesta. Disaksikan ibunya Siboru Nailing dan abang-abangnya si Raja Tambun yang datang dari Silalahi Nabolak, Raja Mangarerak dan tulangnya Toga Manurung memberi pauseang (hadiah) berupa Mual Simataniari, Hauma Sipitu, Batangi dan Pinasa Sidungdungonon kepada si Raja Tambun. Kemudian Raja Mangarerak berkata. “Cucuku Raja Tambun, hakmu sekarang sudah sama dengan raja-raja di daerah ini, di Silalahi Nabolak namamu si Raja Tambun, beberapa tahun kau di Sibisa ini disebut si Raja Parmahan (pengembala). Mulai sekarang dinobatkan namamu Raja Itano, karena kau sudah martano golat (marga tanah) di Sibisa,” katanya sambil mengikatkan “Tali-Tali harajaon boru” di kepala Raja Tambun. Raja Tambun bersama Pinta Haomasan boru Manurung tetap tinggal di Sibisa Uluan dan diberikan oleh Tuhan 3 (tiga) orang anak laki-laki yaitu Tambun Mulia, Tambun Saribu dan Tambun Marbun.



Tambun Mulia mempunyai 2 (dua) orang anak laki-laki yaitu: Tambun Uluan dan Tambun Holing. Tambun Uluan tetap tinggal di Uluan dan keturunannya memakai marga “Tambun”. Sedangkan Tambun Holing pergi ke Tambunan dan mempunyai 3 (tiga) orang anak laki-laki yaitu: Raja Ujungsunge, Tuan Pagaraji dan Datu Tambunan Toba. 1(satu) orang anak Tuan Pagaraji yang bernama Mata Sopiak pergi ke Angkola dan keturunannya memakai marga “Daulay.” Datu Tambunan Toba mempunyai 3 (tiga) orang anak laki-laki yaitu: Raja Baruara, Lumban Pea (Datu Gontam) dan Lumban Gaol (Raja Parsingati). Seluruh keturunan Tambun Holing pada umumnya memakai marga “Tambunan.”


Raja Silahisabungan setelah mengantarkan anak kesayangannya si Raja Tambun ke Sibisa Uluan kembali ke Tolping, namun rasa sedih dalam pikirannya karena harus berpisah sulit dihilangkan begitu saja. Rasa penyesalan mengapa misteri Raja tambun sampai terungkap dari mulutnya di Silalahi Nabolak merupakan pertanyaan yang tidak ada jawabannya karena cerita itu bersumber dari dirinya sendiri. Raja Tambun pun tidak akan merambah pikirannya mencari rahasia kesaktian Raja Silahisabungan apabila di Tolping ia mendapat jawaban yang bisa menyenangkan hatinya. Masa depan si Raja Tambun pun tidak luput dari perhatiannya, bagaimana perlakuan ayah tirinya, apakah ibu yang melahirkannya mampu berbagi kasih sayangnya dengan anaknya dari suaminya yang sekarang? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang terus menyelimuti pikiran Raja Silalahisabungan. Oleh karena semua pertanyaan-pertanyaan itu bertanya pada dirinya, diputuskanlah dalam hatinya untuk pamit dengan istrinya Pinta Haomasan untuk pergi merantau ke tempat lain. Ia ingin kembali ke Silalahi Nabolak sulit dibayangkan karena di sanalah dia melakukan kesalahan yang menjadi sumber terbongkarnya misteri si Raja Tambun. Mau bertahan di Tolping Ambarita pun, anaknya Silalahi sudah terlanjur memberitahu rahasia kesaktiannya yang merupakan jurus pamungkas memaksanya harus mengaku secara terus terang. Mungkin Raja Silahisabungan yang sakti itu sudah mempunyai firasat usianya tidak akan lama lagi, ia lalu pergi ke rumah cucunya yang nomor 2 (dua) Bursak Raja di Pangururan sekaligus melepas rasa rindunya dengan kelompok hula-hula turunan Raja Nabolon. Sesampainya di Pangururan, Raja Silahisabungan berpesan kepada cucunya, mungkin umurnya tidak akan lama lagi, kalau nanti ia meninggal jangan dibawa ke mana-mana, cukup dikuburkan di Dolok Parmasan berdekatan dengan kuburan mertuanya dan dikubur dalam papan berdiri menghadap Silalahi Nabolak. Tidak lama setelah pemberian pesan-pesan itu, Raja Silahisabungan jatuh sakit dan meninggal dunia. Dia dimakamkan di Dolok Parmasan.



Kesimpulan-kesimpulan dari cerita di atas adalah:
- Tidak logis Raja Silahisabungan sebelum pergi ke Silalahi Nabolak pernah tinggal di Tolping Ambarita, akan tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pernah kawin atau ada anaknya di sana. Selama tinggal di Tolping Ambarita yang tidak berlanjut inilah yang luput sehingga keberadaan Silalahi sebagai anak menjadi tidak tertulis dalam bagan silsilah.
- Di cerita di atas ada disebutkan nama anak putri Raja Silahisabungan dengan istri pertamanya Pinggan Matio boru Padang Batanghari yaitu boru Deang Namora.
- Istri Raja Silahisabungan ada 3 (tiga) orang yaitu:Pinta Haomasan boru Baso Nabolon putri Sorbadijulu, Pinggan Matio boru Padang Batanghari dan Siboru Nailing boru Nairasaon putri Raja Mangarerak.
- Kampung Raja Silahisabungan bernama kampung Huta Lahi (yang kemudian dikenal sebagai Silalahi Nabolak, Pakpak, Dairi). Dalam kultur Tapanuli, ketika seseorang membuka sebuah perkampungan (huta) maka ia akan menobatkan dirinya sebagai raja Sipukka Huta (disebut sebagai raja sebab ia merupakan orang pertama yang merintis perkampungan tersebut) sehingga ia dan keturunannya (ahli waris) akan selalu dihormati sepanjang masa (sampai saat ini). Sejak dahulu kala, keturunan Raja Silahisabungan kemudian mendiami perkampungan Huta Lahi.
- Raja Tambun secara logika tidak mungkin sejak bayi sudah berada di Silalahi Nabolak karena kalau sudah bergaul lama dengan saudara-saudaranya sejak ia masih kecil sehingga tidak mungkin masih ada kecemburuan terhadap dirinya saat remaja, apalagi sampai mencederai atau merencanakan pembunuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar