"Dasar kau si anak ikan!"
Tiba-tiba
Bumi berguncang keras. Gempa bumi besar mengguncang tanah pegunungan
itu. Tanah retak merekah memanjang. Segera air menyembur keluar tiada
henti-hentinya dari rekahan-rekahan tanah dan batuan. Di atas, mendung
gelap menggantung berat di langit pekat. Petir menyambar bumi dengan
suaranya yang menggetarkan hati. Hujan pun turun dengan deras
terus-menerus. Si Toba baru tersadar, umpatan kepada anaknya Samosir
telah membuka rahasia yang seharusnya dijaga ketat tentang asal-usul
isterinya yang tadinya ikan besar cantik yang dulu didapatnya.
Penyesalan
datang kemudian. Air segera menggenangi lembah tempat si Toba berada
dan menenggelamkannya. Begitulah balasan atas ketidaksabaran mengurus
anak mereka Samosir yang memang nakal dan rakus makan. Samosir, atas
perintah ibunya yang kembali berubah menjadi ikan, berhasil selamat
mendaki bukit. Lembah yang tergenang luas itu kemudian berubah menjadi
danau, Tao Toba. Bukit tempat Samosir menyelamatkan diri menjadi Pulau
Samosir.
Demikianlah
legenda Danau Toba yang dikenal pada cerita anak-anak Nusantara. Moral
cerita mengingatkan kita untuk selalu sabar mengurus anak dan menjaga
kehormatan rumah tangga. Tetapi di balik itu tersirat peristiwa alam
yang luar biasa tentang pembentukan Danau Toba. Secara geologis sudah
dikenal luas bagaimana danau terluas di Indonesia ini terbentuk melalui
peristiwa paroksismalis antara aktifitas pergerakan lempeng tektonik
dan letusan-letusan volkanik.
Supervolcano Toba
Jauh
dari Toba, di lapisan es yang dingin membeku di Greenland dekat Kutub
Utara, pada awal dekade 1970 para ahli geologi glasial dan
paleoklimatologi terheran-heran mendapati inti pengeboran es mengandung
anomali endapan sulfat yang pasti berkaitan dengan endapan abu gunung
api. Ribuan gunung api tersebar di atas Bumi, gunung api manakah yang
endapan abunya tersebar hingga Kutub Utara? Hasil penelitian menemukan
data yang mencengangkan. Clive Oppenheimer pada 2002 menyatakan anomali
tersebut berhubungan dengan abu gunung api yang diendapkan oleh suatu
kejadian letusan volkanik 74.000 tahun yang lalu. Endapan dengan umur
sama yang lebih tebal dijumpai dari hasil pengeboran dasar laut di
Samudera Hindia dan Laut Arab selama akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Semuanya ternyata berumur setara dengan endapan berwarna putih yang
tersebar luas di dataran-dataran tinggi sekeliling Danau Toba. Itulah
yang dikenal sebagai tuf Toba (Toba tuffs).
Di
jaman prasejarah, 74.000 tahun yang lalu, diperkirakan suatu rangkaian
letusan gunung api yang dahsyat telah terjadi di sepanjang retakan pada
batas-batas timur laut dan barat daya Danau Toba. R.W. van Bemmelen,
seorang ahli geologi Belanda - yang bukunya "The Geology of Indonesia,
1949" selalu menjadi rujukan geologi Indonesia - pada 1929 dan 1939
mengemukakan hipotesis terbentuknya Danau Toba. Menurutnya, suatu
pembumbungan bagian tengah Sumatera Utara yang dikenal sebagai "tumor
Batak" menjadi cikal bakal terbentuknya Danau Toba. Tumor itu meletus
luar biasa dahsyat, gabungan antara proses-proses volkanik dan
tektonik, menyebabkan amblesnya bagian tengah tumor tersebut membentuk
cekungan memanjang barat laut - tenggara, serarah memanjang Pulau
Sumatera, dan juga searah dengan Sesar Besar Sumatera dan Pegunungan
Bukitbarisan. Proses itu juga menyebabkan "terungkitnya" sebagian dari
amblesan, terangkat naik dengan posisi miring ke arah barat daya,
membentuk Pulau Samosir.
Pendapat
Bemmelen yang telah bertahan begitu lama sejak 1929 itu akhirnya
terbantahkan oleh penelitian geomorfologi yang dikerjakan oleh
Verstappen selama 1961 - 1973. Ia mendapati adanya teras-teras
struktural di ngarai-ngarai terjal Sei Asahan di Siguragura yang di
atasnya terendapkan tuf Toba. Hal itu menunjukkan bahwa Sei Asahan
telah terbentuk jauh sebelum letusan dahsyat Toba menurut Bemmelen pada
1929. Artinya, ada kemungkinan cekungan Toba telah ada sebelum letusan
supervolcano, atau apa yang dikenalkan oleh Bemmelen sebagai letusan
volkano-tektonik. Letusan-letusan besar itu terjadi pada gunung-gunung
api yang kemungkinan terjadi pada retakan-retakan dan sesar-sesar yang
mengapit gawir-gawir terjal lembah Danau Toba.
Letusan-letusan
besar paroksismal menyemburkan abu-abunya hingga ke lapisan-lapisan
stratosfer dan disebarkan ke seluruh permukaan Bumi. Endapan tebal
tentu saja jatuh di sekitar pusat letusan di sekitar Danau Toba,
menghasilkan tuf Toba, batuan berwarna putih dengan butiran-butiran
gelas volkanik, fragmen kuarsa, dan matriks gelas berukuran lempung.
Kejadian itu tidak berlangsung dalam satu kali saja. Hasil penelitian
stratigrafi lapisan tuf Toba dan pengukuran umur absolutnya,
menunjukkan adanya lapisan-lapisan tuf hasil letusan sekitar 74.000,
450.000, 840.000, dan 1,2 juta tahun yang lalu, menghasilkan perulangan
375.000 tahun dengan deviasi standar 15.000 tahun (Chesner et al. 1991
dan Dehn et al. 1991, dalam Rampino & Self, 1993).
Rampino
dan Self (1993) mencurigai bahwa letusan supervolcano Toba telah
menghasilkan letusan abu gunung api sebesar 2.800 km3 setinggi 40 km ke
angkasa yang kemudian dapat menyebabkan pendinginan permukaan Bumi
secara tiba-tiba. Rampino dan peneliti lainnya menyebut gejala
pendinginan global itu sebagai "volcanic winter". Suhu Bumi rata-rata
turun 3 - 5oC. Besar kemungkinan letusan 74.000 tahun yang lalu
mempengaruhi penghuni Bumi dan manusia saat itu. Secara global
diketahui adanya gejala populasi leher botol berkaitan dengan menurun
secara drastisnya populasi manusia bertepatan pada waktu 74.000 tahun
yang lalu. Di Nusantara, dengan bukti-bukti fosil yang ditemukan di
Pulau Jawa, Homo erectus, dan jenis manusia yang lebih modern seperti
Manusia Wajak, besar kemungkinan merasakan pengaruh besar letusan
dahsyat Toba. Memang, belum ada bukti kuat fenomena Toba menyebabkan
kepunahan spesies manusia, tetapi pengaruh perubahan iklim dipastikan
mengubah pola kehidupan mereka.
Contoh
terdekat perubahan iklim global akibat letusan gunung api adalah
setelah letusan Krakatau 1883, dan terutama letusan Tambora pada April
1815 yang 10 kali lebih dahsyat daripada Krakatau 1883. Letusan itu
telah menyebabkan suatu fenomena aneh yaitu turunnya salju di bulan
Juli di Eropa, sehingga tahun 1815 dijuluki "the year without summer."
Tahun-tahun setelah itu menyebabkan kegagalan panen di seluruh dunia
akibat kekacauan iklim global.
Awal
2005, suatu pendapat yang akhirnya diakui salah kutip oleh peneliti
dari Monash University Australia, Raymond Cas, menyatakan adanya massa
magma raksasa di bawah Danau Toba yang siap meletus sebagai
supervolcano. Pendapat yang membuat panik ini segera dibantah banyak
ahli. Sekalipun massa magma itu memang ada, tetapi letusan dahsyat
tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tentu saja kita tidak berharap
adanya letusan paroksismal dari supervolcano Toba, sekalipun fenomena
itu dapat menghentikan gejala pemanasan global yang terjadi akhir-akhir
ini.
Citra SRTM Sumatera Utara dengan lokasi-lokasi penting yang dirujuk pada tulisan ini
Dalam
Ekspedisi Geografi Indonesia VI 2009 di Provinsi Sumatera Utara, tuf
Toba teramati ketika sebagian tim memasuki suatu kawasan eksklusif di
tepi Danau Toba di Merek yang bernama Taman Simalem Resort. Tempat
tersebut berdisain mewah dan apik, dengan suatu plaza persis menghadap
ke arah indahnya Danau Toba bagian barat laut. Tempat yang tadinya
berstatus hutan lindung itu telah disulap menjadi kawasan wisata mahal,
termasuk pembangunan vihara yang sedang dalam tahap penyelesaian.
Lereng-lereng
terjadi pada plateau Toba di Merek dipotong dan ditimbun (cut and fill)
menjadi pola jalan berliku-liku menghasilkan pemandangan yang eksotis.
Vihara ditempatkan di salah satu ujung tanjung dan diapit oleh
lereng-lereng terjal. Di sinilah persoalan akan muncul. Lereng-lereng
terjal yang didominasi oleh tuf Toba bersifat gembur dan berpasir,
serta mudah mengalami denudasi. Gejala-gejala erosi dan longsoran sudah
mulai terlihat. Pengembang kelihatan mengerti benar permasalahan yang
akan dihadapi. Beberapa dinding penahan dan bronjong batu telah
dibangun untuk menahan ketidakstabilan lereng-lerengnya. Pemeliharaan
yang nantinya terus-menerus harus terkontrol sehingga akan sangat mahal.
Lain
lagi singkapan tuf Toba pada jalan ke arah Sidikalang, melalui Sumbul.
Sumbul terletak persis pada garis morfologi memanjang barat laut -
tenggara sebagai ekspresi Sesar Besar Sumatera. Garis ini ditempati
oleh aliran Lau Renun yang menoreh tajam lembah sungainya. Di lereng
Lau Renun yang terjal, tuf Toba yang keras digali sebagai batu bahan
fondasi. Sementara itu pada arah yang jauh berseberangan di
Doloksanggul - Onanganjang, sebagian besar batuan tuf telah mengalami
alterasi. Tanah berwarna kuning, jingga, dan merah menghiasi
pinggir-pinggir jalan akibat pengaruh larutan sisa magma pada proses
lanjut.
Di Pulau
Samosir, tuf Toba yang keras menjadi artefak-artefak peninggalan
kerajaan-kerajaan kuno Batak berupa kursi-kursi dan meja altar tempat
penyiksaan musuh yang tertawan. Batu-batu kursi tersebut sangat
terkenal sebagai objek wisata di Siallagan, Kecamatan Simanindo. Batu
tuf keras juga menjadi sarkofagus, tempat menyimpan mayat raja-raja
Sidabutar di Tomok, atau patung-patung berhala. Tuf Toba yang saat
diletuskan menghancurkan ekosistem sekitarnya, jauh setelah itu
ternyata ikut berperan di dalam perkembangan kebudayaan
kerajaan-kerajaan Batak tua di sekitar Danau Toba dan Samosir.
Tingkat
kekerasan tinggi batuan tuf Toba tidak hanya dijumpai di lereng Lau
Renun, Sidikalang, Kabupaten Dairi, atau di Pulau Samosir, tetapi juga
tercermin dari air terjun sangat tinggi dan vertikal Sipisopiso di
Merek. Apalagi di sepanjang lereng-lereng sangat terjal di ngarai Sei
Asahan antara Siguragura dan Tangga, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba
Samosir, batuan tuf Toba selintas tampak seperti granit yang perlu
beberapa kali pukulan kuat dengan palu geologi untuk memecahkannya.
Sei
Asahan sebagai sungai drainase dan tempat keluarnya air Danau Toba yang
maksimum berpermukaan 905 m dpl, menggerus secara vertikal dan dalam
batuan tuf Toba mengikuti pola-pola retakan tektonik. Anak-anak
sungainya masuk ke lembah Asahan sebagai air terjun yang tinggi,
menguraikan airnya menjadi embun ketika jatuh menuruni dinding ngarai
yang tegak. Aliran Sei Asahan mengarah ke timur laut untuk kemudian
berubah menjadi sungai besar di Perhitian, Halado, setelah seluruh
airnya keluar dari terowongan PLTA Tangga. Akhirnya sungai ini mengalir
bermeander di dataran pantai timur Sumatera Utara, untuk kemudian
bermuara sebagai sungai distributary yang berliku-liku pada lingkungan
delta di Teluk Nibung, Tanjungbalai. Tempat ini merupakan pelabuhan
ramai yang menjadi pintu perairan Selat Malaka bagi kapal-kapal menuju
Selangor, Malaysia.
Empat
lembar peta geologi di sekitar Danau Toba memetakan dengan jelas
sebaran tuf Toba ini (Aldiss dkk. 1983, Aspden dkk. 2007, Cameron dkk.
1982, dan Clarke dkk. 1982). Tuf Toba tersebar jauh ke arah utara, dan
dijumpai hingga Pematangsiantar, bahkan mencapai Tebingtinggi. Tidak
perlu heran. Jika di tengah-tengah Samudera Hindia saja didapati
endapan tuf Toba, jarak ke Tebingtinggi hanyalah jangkauan tidak
seberapa bagi suatu letusan super-dahsyat. Ke arah selatan, tuf
mengendap mengisi perbukitan dan lembah sepanjang Pegunungan
Bukitbarisan sejak Sidikalang di barat laut hingga Tarutung dan Sipirok
di tenggara dan selatan.
Tarutung
adalah kota kecil yang sangat dikenal oleh para peneliti ilmu kebumian,
khususnya yang berkecimpung dalam bidang bencana gempa bumi. Tempat
yang dalam bahasa Batak berarti "durian" ini pernah diguncang gempa
bumi merusak 6,6 skala Richter pada 27 April 1987. Memang jalur di
Bukitbarisan itu adalah jalur retakan dan patahan aktif sepanjang Pulau
Sumatera, mulai dari Teluk Semangko di Lampung, menerus ke utara
melalui Bengkulu, Kerinci di Jambi, Danau Singkarak dan Padangpanjang
di Sumatera Barat, Tarutung - Sidikalang di Sumatera Utara, hingga
Bandaaceh.
Ciri
morfologi lembah dan perbukitan memanjang sebagai hasil kegiatan
tektonik aktif, tampak jelas di Tarutung, tempat Aek Sigeaon mengalir
di sepanjang lembah. Kegiatan tektonik aktif yang menghancurkan
kekuatan batuan juga mempengaruhi kondisi jalan antara Tarutung dan
Sipirok. Di Aek Latong, ruas jalan selalu ambles. Selain karena berada
pada jalur sesar aktif, ditambah lagi ada pengaruh batu lempung yang
mudah hancur dan rawan longsor.
Retakan-retakan yang terbentuk di sepanjang lembah ini juga menjadi jalan bagi keluarnya air panas. Mata air panas Sipoholon dekat Tarutung yang terukur bersuhu 63,8oC menjadi tempat wisata yang ramai. Air panas Sipoholon keluar dari celah-celah batuan dan menembus tuf Toba. Endapan travertin yang terbentuk akibat air panas menerobos tuf Toba menghasilkan endapan dengan pola-pola yang menarik, berupa bentukan stalaktit dan stalagmit, serta teras-teras endapan travertin.
Retakan-retakan yang terbentuk di sepanjang lembah ini juga menjadi jalan bagi keluarnya air panas. Mata air panas Sipoholon dekat Tarutung yang terukur bersuhu 63,8oC menjadi tempat wisata yang ramai. Air panas Sipoholon keluar dari celah-celah batuan dan menembus tuf Toba. Endapan travertin yang terbentuk akibat air panas menerobos tuf Toba menghasilkan endapan dengan pola-pola yang menarik, berupa bentukan stalaktit dan stalagmit, serta teras-teras endapan travertin.
Ke
arah tenggara masih dijumpai mata air dengan gelembung-gelembung udara
dengan rasa sedikit asam sehingga penduduk menamakannya "air soda" di
Parbubu. Suhu air secara umum relatif hangat, yaitu 31,5oC. Tetapi
karena suhu udara juga cukup panas (30,7oC), air soda Parbubu terasa
dingin ketika disentuh. Makin ke tenggara, di Sipirok, dijumpai pula
mata air panas di Aek Milas Sosopan yang dimanfaatkan oleh masjid
setempat sebagai air wudlu. Aek Milas dalam bahasa Batak Sipirok memang
berarti "air panas."
Mata
air panas di sepanjang Tarutung - Sipirok merupakan mata air panas yang
terjadi akibat patahan, sekalipun sumber air panasnya diperkirakan
berasal dari sumber-sumber magmatis juga. Hal itu berbeda dengan air
panas bersuhu 47,3oC yang terasa ngilu di gigi karena ber-pH sangat
asam di Aek Rangat yang terletak di lereng G. Pusukbuhit, dekat Pulau
Samosir. Air panas di Aek Rangat sangat jelas berkaitan langsung dengan
aktifitas gunung api Pusukbuhit, sama halnya dengan air panas yang juga
muncul di Lau Sidebukdebuk, dari lereng G. Sibayak, Tanah Karo
Tanah Batak yang Indah
Pada
akhir perjalanan ekspedisi menjelajah Danau Toba dengan sejarah
letusannya yang luar biasa serta produk-produk tufnya yang tersebar
luas, kesan yang didapat adalah keterpesonaan akan bentang alam yang
terbentuk akibat proses-proses alam, proses-proses geologis, tektonik
dan volkanik yang berlangsung berribu-ribu tahun. Danau, plateau,
gunung, perbukitan, lembah, dan sungai, serta hutan, perkebunan dan
masyarakatnya, seluruhnya menyusun alam Sumatera Utara menjadi suatu
harmoni alam yang indah. Sangat cocok sekali arti Tapanuli sebagai
tapian nauli, daratan yang indah. Jangankan pendatang dari luar yang
menjelajah hanya 10 hari di Sumatera Utara, penduduk asli Batak pun
masih selalu terkagum-kagum dengan tanah kelahiran mereka.
Bagaimana
cintanya orang Batak terhadap tanah kelahirannya, selalu dimisalkan
ketika seorang Batak menyanyikan lagu "O Tano Batak" (1933) yang
ditulis oleh S. Dis (Siddik Sitompul, 1904 - 1974) dengan sebagian
liriknya sebagai berikut:
O Tano Batak halolonganhu...
O Tano Batak sinaeng hutahap,
dapot honon hu, tano hagodangan hi
(Oh Tanah Batak yang selalu kurindukan...Oh Tanah Batak yang selalu kutatap, kuingin selalu pulang kampung ke tanah kelahiran).
O Tano Batak sinaeng hutahap,
dapot honon hu, tano hagodangan hi
(Oh Tanah Batak yang selalu kurindukan...Oh Tanah Batak yang selalu kutatap, kuingin selalu pulang kampung ke tanah kelahiran).
Seberapa
keras watak orang Batak, matanya akan berkaca-kaca, bahkan mungkin
menangis tersedu-sedu, saat menyanyikan lagu tersebut. Apalagi ketika
datangnya perasaan rindu kampung halaman saat sedang jauh merantau.
O Tano Batak, aku pun selalu ingin kembali menikmati keindahanmu...
O Tano Batak, aku pun selalu ingin kembali menikmati keindahanmu...
Pustaka
- Aldiss, D.T., S.A. R. Whandojo, Sjaefudien A.G., and Kusjono (1983), Geologic Map of the Sidikalang Quadrangle, Sumatra 0618, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
- Aspden, J.A., W. Kartawa, D.T. Aldiss, A. Djunuddin, D. Diatma, M.C.G. Clarke, R. Whandoyo, and H. Harahap (2007), Geologic Map of the Padangsidempuan and Sibolga Quadrangle, Sumatra 0717, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
- Bemmelen, R.W. van (1949), The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff, The Hague, The Netherlands.
- Cameron, N.R., J.A. Aspden, D. McC Bridge, A. Djunuddin, S.A. Ghazali, H. Harahap, Hariwidjaja, S. Johari, W. Kartawa, W. Keats, H. Ngabito, N.M.S. Rock and R. Whandoyo (1982), Geologic Map of the Medan Quadrangle, Sumatra 0619, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
- Clarke, M.C.G., S.A. Ghazali, H. Harahap, Kusyono, and B. Stephenson (1982), Geologic Map of the Pematangsiantar Quadrangle 0718 Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
- Oppenheimer, C. (2002), Limited Global Change Due to the Largest Quaternary Eruption Toba 74kyr BP, Quat. Sci. Rev. 21 (14-15), pp. 1593-1609.
- Rampino, M.R., dan S. Self (1993), Climate-Volcanism Feedback and the Toba Eruption of ~ 74,000 Years Ago, Quaternary Research, Vol. 40, pp. 269-280.
- Verstappen, H.Th. (2000), Outline of the Geomorphology of Indonesia, A Case Study on Tropical Geomorphology of a Tectogene Region, ITC, Enschede, the Netherlands.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar