Selasa, 27 April 2010

Mendaki Gunung Sibayak....... ayo kita daki


Panorama di puncak gunung Sinabung tidak kalah indahnya, puncak kedua tertinggi di Sumatera utara (SUMUT) itu mempunyai ketinggian 2.451 m.dpl. Salah satu gunung berapi yang terletak di Propinsi Sumatera Utara ini, berkakikan sebuah danau yakni danau Lau Kawar.
Danau Lau Kawar memiliki pesona alam yang begitu memukau apalagi danau itu bagai dijaga puncak Lancuk. Lancuk adalah salah satu puncak tinggi Karo yang bertetangga dengan gunung Sinabung. Gunung Sinabung merupakan gunung api dengan tipe Strato atau berlapis.
Mendaki gunung Sinabung merupakan pilihan yang tepat untuk menghilangkan kejenuhan. Sepanjang pendakian menuju puncak masih ditemukan hutan tropis yang indah alami. Hamparan ladang penduduk yang ditumbuhi sayur, buah dan bunga-bungaan yang berwarna-warni.

Dalam perjalanan di hutan, kita juga akan merasakan bau khas daun-daun dan pepohonan yang akan ditemui didalam hutan tropis. Selain itu, kita akan mendengar kicauan burung-burung yang begitu mengoda kita untuk mengamatinya lebih dekat dengan mengunakan teropong (binocular). Hampir mencapai puncak akan melalui tantangan berat jalan setapak bebatuan yang kiri-kanan jurangnya cukup curam.
Puncak Batu Segal
Gunung yang memiliki lembah terukir indah dari satu punggungan ke punggungan lain, memiliki salah satu puncak yang paling menantang yakni, puncak Batu Segal. Dikabarkan nama "Batu segal" diberikan oleh Tetua Karo disekitar kaki gunung. Puncak ini berbentuk pilar batu yang menjulang tinggi.
Belum lagi pesona kawah Sinabung setia memuntahkan uap panas. Kawah itu bernama, Kawah Batu Sigala. Kabarnya kawah itu menyimpan sejuta misteri yang tak terungkap sampai kini. Sementara di bagian puncak cukup luas dan terjal.
Sebelah timurnya puncak terlihat keindahan Danau toba dan kota Medan dikejauhan. Sebelah baratnya, keindahan danau lau kawar dan hamparan rumah penduduk disekitar kaki gunung. Dari puncak terlihat perawakan gunung Sibayak dan jejeran pengunungan Bukit barisan yang indah. Berada di puncak biasanya suhu rata-rata 15 derajat celcius.
Status Gunung Sinabung
Secara administratif gunung sinabung termasuk dalam Propinsi Sumatera Utara, kabupaten Karo yang terletak di kecamatan Simpang empat. Gunung yang berkaki danau itu masih tergabung dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Hutan yang dimiliki oleh gunung sinabung merupakan hutan lindung berupa hutan alam pengunungan yang tergabung dalam Tahura Bukit Barisan (BB).
Danau Lau Kawar
Berkemah sambil bergitar mengelilingi api unggun di tepi danau pada malam hari, adalah acara menarik untuk melepaskan lelah selepas mendaki. Seusai makan malam setelah mendirikan tenda, Pendaki biasanya menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dan menjalin keakraban dengan sesama pendaki di tepi danau kawar sambil bersenda gurau.
Sambil merasakan sejuknya udara pengunungan dan dinginnya udara malam disana pendaki saling menceritakan pengalamannya selama mendaki. Selain mendaki, biasanya para pengunjung datang hanya sekedar camping, memancing dan membakar ikan. Kegiatan ini dilakoni mereka untuk melepaskan stress dan kabur dari rutinitas yang mengekang kehidupan mereka sehari-hari.
Danau yang airnya jernih itu, sering pula dimanfaatkan oleh pengunjung untuk mencuci piring bekas sisa -sisa makanan sehabis camping, menyuci kenderaan, dan membersihkan diri sehabis mendaki. Berada di kaki gunung sambil memandang keindahan danau dan puncak Lancuk diseberang, keindahan alam terpancar tiada tara.
Kemegahan puncak Lancuk punya keindahan tersendiri dari enam puncak Karo lainnya. Keindahan Lancuk menyimpan sejuta pesona yang menyatu dengan alam disekitarnya. Bilamana bernasib baik, pada sore hari yang cerah dapat dinikmati sunset (Matahari terbenam) dari tepi danau.
Route pendakian Gunung Sinabung
Pendakian dari tepian danau kawar atau desa Sigarang-gara ke puncak, memakan waktu kurang lebih empat jam. Jarak dari kota Berastagi ke lokasi titik awal pendakian gunung sinabung di desa Lau Kawar kira-kira 27 km. Dari kota Medan dapat naik Bus trayek Medan – Kabanjahe seperti bus Sinabung Jaya, Sutra dan Serasi Borneo dengan ongkos sekitar Rp. 10 - 12 Ribu untuk satu kali perjalanan (Update bulan November 2008). Sampai di kota Brastagi atau di kota Kabanjahe turun lalu mengganti bus jurusan lau kawar mengunakan angkutan pedesaan.
Pendakian dari jalur Danau kita akan merasakan arti berpetualang yang sebenarnya. Pendakian dari jalur itu melalui medan cukup terjal dan curam. Namun pendakian dari desa Mardinding ke puncak Sinabung jarang dilalui pendaki. Kalo seandainya melalui jalur itu, dapat ditempuh dari kota Kabanjahe di terminal bus Tugu, dari sana mengendarai bus ke desa Mardinding.
Route perjalanan sekitar 3 - 6 jam (tergantung dari kondisi fisik) untuk sampai di puncak dan agak susah untuk mencari air diperjalanan, disarankan untuk membawa air dari desa Mardinding. Kondisi perjalanan tidak terlalu curam, hanya saja sewaktu kita melewati cadas harus berhati-hati karena kiri – kanan jalan terdapat jurang. Begitu juga dengan jalur desa Sigarang-garang tidak jauh berbeda. Selamat Mendaki.....

Jumat, 21 November 2008

Satu Kaki Taklukkan Gunung Sibayak

Menjadi laki-laki cacat tidak menyurutkan langkahnya untuk berpetualang mengelilingi dunia. Menggunakan mountain bike (sepeda gunung, red) dengan kayuhan satu kaki, Imam Sudjoko memulai perjalanannya kembali mengelilingi Indonesia pada 2 November 2006.
Nama Imam Sudjoko pertama kali tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 1999. Empat tahun kemudian, tepatnya 2003, kembali Imam menorehkan prestasi dan tercatat di MURI. Begitu pula tahun 2005. Kini, prestasi yang pernah diraihnya diulangi pada tahun 2007.
Dalam petualangnya kelahiran Kediri 30 Maret 1968 yang sudah 3 kali masuk rekor MURI ini, tidak pernah patah semangat menaklukkan puncak gunung daerah yang dilaluinya meski hanya ditemani tongkat kayu kesayangannya.
Ia cacat karena kehilangan satu anggota badan saat mengalami kecelakaan kerja di Bogor pada tahun 1994 yang mengakibatkan kaki sebelah kirinya harus diamputasi.
Ia pernah tercatat menaklukkan puncak gunung Fujiyama di Jepang beberapa tahun lalu. Menaklukkan puncak Jaya Wijaya di Papua tahun 2006 yang perjalanannya disiarkan oleh Metro TV. Pendaki gunung yang merupakan warga kaki gunung Semeru tepatnya di Desa Taman Ayu, Kecamatan Pronowidjo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ini menaklukkan puncak gunung Sibayak 2200 m dpl di Tanah Karo, baru-baru ini.
Bersama Mahasiswa Pencinta Alam Lex Natural FH Universitas Medan Area (UMA) Medan, Bang Imam (Baim) panggilan akrabnya di Medan, berpetualangan mendaki Gunung Sibayak melalui jalur pariwisata Desa Jaranguda, Berastagi.
Mendaki Ditemani Sepeda Dan Tongkat
Sebagai duta wisata yang perjalanannya disponsori oleh PT Telkomsel, Imam selalu kelihatan ceria meski harus melewati tantangan cukup berat saat mendaki Gunung Sibayak yang ditemani sepeda dan tongkat kesayangannya. Tidak sekalipun ia mengeluh saat berjuang meraih salah satu puncak gunung Sibayak itu. Pendakian itu diikuti oleh Lex Natural itu bersama, Pernando Sitepu, Andi Siregar, Baharuddin Dalimunthe, Anggun Pribadi, Ayu Suratni, Dina Sinulingga, Lia Indah, Binasar Panjaitan dan Andi Nababan mahasiswa UMI Medan.
Dalam pendakian ini tiada henti-hentinya Imam memuji keindahan gunung sibayak. “Selain namanya cukup terkenal, gunung sibayak sangat indah. Gunung Sibayak bisa dijadikan icon pariwisata Karo sebagai daya tarik wisata. Saya terkesan dengan gunung ini dan akan kembali suatu saat nanti,” kata Imam saat berada dikawah gunung sibayak yang mempesona.
Selain itu Pesepeda yang setia mempromosikan wisata daerah yang dilaluinya terkejut melihat jalan berlobang di Jalan Provinsi tepatnya depan Tebu Manis Peceren, saat kembali ke Medan. Ia berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karo serius memperbaiki jalan ini. “Kalau jalan menuju obyek wisata rusak, wisatawan akan malas datang ke Gunung Sibayak dan Berastagi,” katanya saat melewati jalan macet akibat jalan berlobang yang digenangi air itu.
Sebelum tiba di Medan dua pekan lalu Imam Sudjoko sudah melewati rute Banten, Semarang, Cirebon, Purwokerto, Yogjakarta, Solo, Surabaya, Madiun, Malang, Banyuwangi, Jember, Denpasar, Tabanan, Gilimanuk Wamena, Lampung, Bengkulu, Palembang, Bangka Belitung, Jambi, Padang, Bukit Tinggi, Kampar serta Pekanbaru.
Bertemu Harimau Sampai Dirampok
Dalam petualang mengelilingi nusantara banyak suka duka yang dialaminya. ’Ketika dalam perjalanan dari Jambi, tepatnya pada tengah malam buta, saya sempat berpapasan dengan tiga ekor harimau. Namun, dalam suasana takut dan gelisah muncul ketakutan yang amat sangat apalagi saat itu hampir tak ada orang melintas di jalan lintas Sumatera yang terkenal rawan itu,’’ ujar mantan pemanjat tower salah satu perusahaan di pulau Jawa ini pada Penulis.

Namun, syukurnya, saat itu, kawanan hewan buas di hutan itu tak sampai mengganggu, sehingga, diapun bisa melanjutkan perjalanan ke daerah lain. Sepanjang perjalanan di daerah Muko-Muko Bengkulu, dia juga harus berhadapan dengan kawanan perampok ganas yang banyak berkeliaran di daerah itu. ‘’Mungkin ketiban nasib naas, waktu itu saya terpaksa harus kehilangan handphone nokia communicator, kamera Nikon serta sejumlah uang. Yang tersisa saat itu hanyalah handphone 3G, laptop yang pada saat itu memang disembunyikan di salah satu tas yang dibawanya. Kamera langsung dirampas karena saya menggantungnya di leher,’’kata Pria yang berencana keliling dunia dan finish di Mekah ini.
Rencananya selesai menaklukkan Gunung Sibayak, ia akan mendaki Gunung Sinabung dan menikmati keindahan Danau Toba sebelum melanjutkan perjalanan ke Lampung. Selamat Jalan…

Jumat, 24 Oktober 2008

Gunung Sibayak, Gunung Raja Yang Miliki Sejuta Pesona

Siapa pendaki gunung yang tidak kenal Gunung Sibayak. Namanya kesohor sampai ke luar pulau. Tubuhnya sudah capek dibelai-belai para Pendaki lokal sampai mancanegara. Seorang Pendaki-Orang Gunung Kuala Lumpur (OGKL) pernah pula mengibarkan bendera negaranya sekaligus merayakan Hari Kemerdekaan Malaysia-lima tahun silam yang jatuh pada tanggal 31 Agustus 2003 di puncak Sibayak.

Bak seorang Bidadari, nama Sibayak harum bagaikan bunga. Selain nama yang disandang Sibayak cukup terkenal, gunung yang dimilikinya-pun tidak kalah megahnya dibandingkan dengan pengunungan api lain.

Panorama alam yang tersebar tiada henti-hentinya memukau disepanjang perjalanan menuju puncak. Pemandangan alam yang ada seakan mengingatkan kita akan kebesaran sang pencipta. Setiap kali orang mendengar nama Sibayak pasti yang terpikir dalam benak mereka adalah kemegahan dan ketersohoran nama gunungnya sampai ke penjuru bumi. Bahkan nama dari salah satu “Hotel berbintang empat” di kota Berastagi, bernama Hotel Sibayak. Sepertinya nama Sibayak mempunyai kebanggaan dan keindahan bagi orang yang menyandangnya.

Gunung Raja
Untuk itu amatlah pantas apabila gunung Sibayak dijuluki sebagai ”Gunung Raja“ arti kata Sibayak ialah “Raja” Konon Tanah karo diperintah oleh 4 raja (Sibayak). Keempat dari kerajaan itu ialah Sibayak lingga, Sarinembah, Suka, Barusjahe dan Kutabuluh.

Puncak Gunung Sibayak
Siapapun akan mengakui keindahan puncak sibayak, bila berada di puncaknya yang berketinggian 2.0994 Meter.dpl sambil menyaksikan Sunrise (Matahari terbit) dari sana. Bagi yang ingin menyaksikan sunrise, diupayakan agar beranjak dari kaki gunung sekitar pukul 02.00 dini. Hampir mencapai puncak, ditemui aliran air dingin nan jernih. Airnya yang jernih mengalir disela-sela bebatuan yang ditumbuhi lumut yang mengalir dari puncak Sibayak. Berada dipuncak, suasana alam begitu memukau, apalagi terpancar keindahan kerlap-kerlip lampu-lampu desa di sekitar kaki gunung, bila malam cerah. Ditambah lagi jejeran pengunungan Bukit barisan yang pesonanya begitu melengkapi kesempurnaan alam. Pesona alam ini tidak mengaburkan kondisi puncak sibayak yang sudah porak-poranda karena letusan beberapa waktu silam.

Dinginnya udara pegunungan dan gelapnya langit bertaburkan ribuan bintang di puncak malah menciptakan suasana alam yang berbeda, seakan membawa kita berhayal tentang permukaan di bulan, karena yang ditemui disana hanyalah pasir, batu-batuan dan kerikil. Berada di puncak, biasanya pendaki berupaya mencapai salah satu puncak tertinggi Sibayak yang bernama “Takal kuda,” diambil dalam bahasa karo yang artinya “Kepala kuda.” Puncak Sibayak berada di titik koordinat 97°30'BT dan 4°15'LS. Gunung yang masuk dalam tipe gunung berapi yang masih aktif dengan stato (berlapis) mempunyai uap panas, dari kondisi ini masyarakat menganggap puncak dan kawah gunung tersebut menyimpan sejuta misteri.

Kawah Unik
Selain puncak, daerah kawah tidak kalah uniknya. Selain disekitar kawah ditemukan batu cadas, kawah belerang yang luasnya 200 x 200 meter memiliki solfatara yang senantiasa menyemburkan uap panas. Untuk mengabadikan aktivitas kawah pendaki berlomba-lomba menuruni kawah. Dari kawah akan ditemukan sejumlah keunikan yang dimiliki oleh Sibayak yang amat jarang ditemukan di pegunungan lain.

Biasanya kawasan landai di daerah pinggiran kawah dijadikan untuk mendirikan Bivak (Tenda) untuk beristirahat melepaskan lelah seusai mendaki. Biasanya, malam Minggu dan hari libur merupakan musim pendakian ke puncak, dibandingkan dengan hari-hari biasa.

Route Pendakian Gunung Sibayak
Untuk mencapai puncak gunung Sibayak, pendaki dapat memasuki tiga pintu rimba dengan menelusuri jalan setapak melalui hutan belantara tropis dan tebing curam, yang ditemui disepanjang kiri-kanan pendakian. Pintu rimba sibayak melalui, Desa Raja Berneh (Semangat Gunung), Jalur 54, Penatapan jagung rebus dan Jaranguda kira-kira 500 meter dari kota berastagi. Ketiga-jalur dapat dicapai dengan angkutan umum dari kota Medan. Jalur 54 atau sering disebut jalur “Aqua” lebih dikenal dengan medan yang cukup menantang.

Kalau ingin tiga jam mencapai puncak melalui jalur desa Raja Berneh, yang berlokasi sekitar 7 km dari jalan raya Medan – Brastagi. Di desa Raja Berneh ditemukan pemandian air panas Lau Sidebuk-debuk (Hot Spring). Dari tiga jalur ini, Tim memilih untuk melalui Jalur 54 yang dianggap menantang dan memiliki medan yang cukup berat untuk dilalui.

Status Gunung Sibayak
Gunung Sibayak yang berketinggian 2.094 m.dpl secara administratif masuk dalam kabupaten Karo di Sumut. Hutan gunung ini masuk dalam hutan lindung berupa hutan alam pengunungan, yang tergabung dalam Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan yang merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 Nopember 1988.

Pembangunan Tahura ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan lingkungan melalui peningkatan fungsi dan peranan hutan. Hutan gunung yang masih alami tersebut tergabung dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan Daerah Tangkapan Air (DTA) bagi masyarakat disekitar gunung dan hutan.

Gunung Kutu Punya Keunikan Tersendiri

Anda mungkin pernah mendengar nama kutu. Nama binatang penghisap darah ini salah satu nama gunung di Tanah Karo. Persisnya di Desa Guru Singa, Kecamatan Berastagi, Gunung Kutu tidak kalah uniknya dengan sejumlah gunung yang berada di Tanah Karo. Padahal gunung ini tidak setinggi Sibayak dan Sinabung, namun panorama alam yang dimiliki cukup mempesona.
Deleng Kutu, demikian masyarakat Karo menyebutnya pada gunung yang memiliki ketinggian sekitar 1300 Mpdl ini. Bila dilihat dari kejauhan, deleng (gunung) yang memiliki pintu rimba sangat menantang itu memang mirip kutu. Mungkin itu-lah sebabnya masyarakat disekitar kaki gunung menyebutnya gunung kutu.

Dalam pendakian gunung yang memiliki tantangan tersendiri itu bersama Esra Surbakti, Rian Ginting dan Jhon Ginting mengawali pendakian itu, belum lama ini. Perjalanan yang diawali sore hari itu ditemani mendung dan kabut. Masih beberapa puluh menit berjalanan muncul permukaan gunung kutu. Sejenak kami berhenti memandang gunung yang terlihat mungil itu. Sembari mengabadikan gunung itu beberapa teman melototi kerumunan sapi yang sedang melahap rumput. Mungkin mereka jarang menemukan suasana seperti ini dikota, pikirku.

Perjalanan dilanjutkan menuju Desa Guru Singa. Berada di jantung kampung, kami menemukan sebuah rumah adat karo yang kondisinya cukup memprihatinkan. Waktu itu kami berupaya masuk ke rumah siwaluh jabu (delapan keluarga) melalui jendela yang hampir ambruk. Kondisi dalam rumah adat yang dulu dihuni delapan keluarga ini kayak kapal pecah. Disana-sini yang terlihat hanya seonggokan pakaian dan barang bekas yang sudah kumuh. Menurut salah seorang warga, sejak sepuluh tahun silam rumah adat karo yang tidak memiliki paku sebagai penghubung bangunan memang tidak dihuni lagi. Ketika ditanya, pria yang mengaku marga Tarigan itu mengatakan keluarga yang dulunya menghuni rumah itu sudah pindah. Namun ia menyesalkan sikap Pemkab Karo yang berkesan tidak peduli mengkonservasi rumah peninggalan nenek moyang orang karo yang tidak ternilai harganya ini.

Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke pintu rimba. Sebelum tiba di pintu rimba, gerimis menemani langkah kami. Di pintu rimba kami sempat mempertaruhkan nyali memanjat betis gunung dengan ketinggian 2, 5 meter. Berhasil melewati tantangan ini dengan bantuan akar pohon kami menemukan jalur yang cukup menantang lagi. Jalur pendakian ke gunung kutu memang memiliki medan yang lumayan sulit. Betul kata sesepuh pendaki gunung, semua gunung memang memiliki medan yang menantang. Jadi kita jangan pernah menganggap remeh sebuah petualangan. Padahal sebelum mendaki gunung kutu, terdengar celotehan teman-teman mengukur jalur gunung. “Tadi kita kira gampang, rupanya jalurnya buat sesak napas juga ya,” kata seorang teman dengan napas memburu.

Hampir mencapai puncak kami tertipu. Rupanya kami menemukan puncak tipuan. Meski gunung ini terlihat kecil, tapi kecil-kecil cabe rawit pula. Memang gunung kecil tapi tidak bisa disepelekan. Di puncak tipuan kami hampir tersesat, tapi buru-buru seorang teman menemukan jalan menuju puncak mengarah ke kanan. Lima menit menyusuri jalan menuju puncak, senja kami menemukan sebuah pilar yang konon didirikan oleh Belanda.

Berada di puncak gunung kutu seperti berada di warung kopi. dilengkapi tempat duduk batu. Puncak memiliki lokasi untuk mendirikan tenda. Setelah puas beristirahat di puncak kami menembus padang ilalang setinggi 2 meter. Dari sana kami menemukan satu tempat yang asyik untuk nongkrong. Terasa asyik berada di ketinggian puncakny, karena dari posisi ini terlihat kota Kabanjahe, permukaan Gunung Sibayak dan Sinabung.

Di puncak, senja menggairahkan suasana gunung. Burung-burung tiada berhenti berkicau, angin senja terasa lembut menyapu kulit. Kami betah berada disana. Alam akrab menyambut kedatangan kami dan menjadi saksi bisu persahabatan kami. Damai disana, sedamai alam bila hutan dan penghuninya dilestarikan. Sangat disayangkan, kepedulian pada alam perlu diragukan. Keraguan itu mucul ketika terlihat sebagian tubuh gunung kutu dilukai untuk dijadikan sebagai ladang penduduk.

Hampir satu jam di puncak kami menuruni gunung kutu. Karena jalannya licin, beberapa kali kami jatuh terpelanting. Tapi berkat bantuan akar-akar pohon yang tersebar di sekitar jalur, kami berhasil turun menjelang malam. Dari pintu rimba kami kembali menyusuri jalan pedesaan menuju Simpang Korpri sekitar 1 jam, Jalan Jamin Ginting yang menghubungkan Kota Kabanjahe-Berastagi. Dari sana kami menuju Kota Berastagi dan menikmati jajanan malam di Kota Parawisata itu. Usai makan malam kami kembali ke Medan mengendarai Mobil Borneo. Ini perjalanan yang mengasyikkan pada malam Lebaran di Tanah Karo.

Menaklukkan Keangkuhan Gunung Sibuaten

Banyak yang tidak tahu Gunung Sibuaten merupakan gunung tertinggi di Sumatera utara. Gunung yang memiliki ketinggian 2.458 mdpl ini diapit Kabupaten Karo dan Dairi, tepatnya di Kecamatan Merek. Sangkin uniknya, gunung yang dikenal misterius ini membuat banyak orang penasaran ingin membelai tubuhnya. Hanya sebagai informasi, ketika tidak mengetahui jalur gunung Sibuaten, menjadi perdebatan hangat dikalangan pendaki di beberapa milis gunung.
Aneh memang, mereka jauh-jauh datang dari Pulau Jawa hanya untuk menjejalkan kakinya di Gunung Sibuaten, tapi informasi yang simpang siur membuat mereka tidak dapat menemukan tempat persembunyian Sibuaten meski sudah menanyakan informasi gunung itu ke sejumlah orang, tapi tidak juga menemukannya.

Meski tidak terkenal seperti gunung Sibayak dan Sinabung, disinilah letak keunikan Deleng Sibuaten, demikian panggilan akrab Tetua Karo. Gunung yang memiliki medan sangat menantang dan jarang dijamah itu hampir dieksploitasi ekosistemnya. Rupanya banyak barang tambang dikandung tubuhnya yang misterius. Gunung yang memiliki banyak puncak tipuan itu juga menyimpan misteri yang belum terungkap sampai saat ini.

Mendaki Dengan Pendaki OGKL
Sekitar pertengah tahun 2005, penulis mendaki gunung ini bersama sahabat alam Orang Gunung Kuala Lumpur (OGKL) Jaleha Samah dan beberapa anggota Pencinta alam Mapagratwa Medan. Persis didepan pintu rimba kami mendirikan tenda untuk beristirahat karena malam telah tiba. Setelah selesai sarapan dan packing perlengkapan mendaki, kami mulai menjelajahi betis gunung Sibuaten. Terasa capek setelah merangkak sampai ke paha gunung. Uhh…kita berhenti ada sungai dan istirahat. Setelah itu kita menyimpan semua carrier (ransel besar-red), kata seorang teman pendaki yang paling muda. Sekaligus mengatakan perlengkapan yang dibawa hanya seperlunya saja karena medannya semakin menantang.

Kami kembali berkemas dan perjalanan dilanjutkan. Tidak lama kemudian kami menemukan hutan pengunungan yang masih alami. Medan yang cukup berat membuat kami harus hati-hati. Beberapa kali kami menemukan kotoran kambing hutan. Hmm…pasti tidak jauh dari sini banyak binatang buas, pikirku. Menurut informasi, binatang buas seperti harimau masih berkeliaran di hutan sibuaten ini.

Hampir mencapai punggungan gunung ditemukan hutan lumut dan kantong semar. Tumbuhan inilah yang menjadi ciri khas hutan gunung ini. Setelah itu mulailah kami menemukan banyak puncak tipuan. Sangkin letihnya, selalu ada harapan bila ketemu satu puncak maka perjuangan berakhir. Tapi ahh, kami kembali tertipu, itu bukan puncak. Rupanya Gunung Sibuaten merupakan gunung angkuh yang tidak mudah ditebak. Punggungan-punggungannya berlapis-lapis.

Karena teramat lelah meraih puncaknya, penulis hampir saja ketiduran di hutan lumutnya yang indah. Meski pendakian terasa berat tapi sibuaten setia menyodorkan pemandangan alam yang tidak dapat dilupakan. Dan bau khas gunungnya yang wangi. Angin yang bertiup kencang ketika hampir mencapai puncak membuat kami hampir menggigil.

Ketika mentari mulai condong ke barat kami mencapai puncak. Pada puncak pertama pemandangan alam begitu menabjubkan. Terlihat keindahan Danau Toba, Gunung Sibayak dan Sinabung. Di puncak utama ditemukan hutan ilalang dan disana ada sebuah pilar. Kabarnya tentara Belanda yang mendirikan pilar ini. Satu persatu kami membuka daypack (ransel kecil) dan mengambil bendera masing-masing. Jaleha mengibarkan bendera negaranya, penulis kibarkan bendera Pencinta Alam (PA) Sibayak dan pendaki lain kibarkan bendera Mapagratwa. Sebagai tanda telah sukses meraih puncaknya, kami berfoto bersama untuk mengabadikan petualangan ini. Luarbiasa, dari atap Sumatera utara ini sinyal sangat bagus. Kami menyempatkan diri mengabarkan kesuksesan pendakian ini ke teman-teman sebelum berbalik arah untuk menuruni puncaknya.

Sekitar 20 menit dipuncak, kami turun dan menghabiskan malam itu di tepi sungai, tempat kami menyimpan carrier tadi pagi. Untuk selamatan karena telah sukses menaklukkan puncaknya, malam itu kami pesta indomie dan kerupuk pedas. Besok harinya setelah sarapan bersama pemburu yang kebetulan lewat, kami meninggalkan kaki gunung sibuaten menuju Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar