Benda-benda budaya pusaka merupakan salah satu daya tarik wisatawan untuk datang ke suatu daerah. Namun disayangkan benda budaya pusaka Batak banyak yang diperjualbelikan dengan harga yang relatif tinggi hingga mencapai jutaan rupiah. Sebagian besar warisan nenek moyang ini tidak terawat dan terkesan diabaikan.
Wisatawan pada umumnya dapat dianggap seperti antropolog dan sosiolog amatiran, mereka datang mengunjungi obyek wisata karena tertarik akan kombinasi faktor alam dan kebudayaan.
Dalam hal ini wisatawan selain menikmati keindahan alam juga ingin
menambah pengetahuannya dalam hal sosio kultural yang merupakan
spesifikasi sesuatu daerah yang mungkin tidak dimiliki daerah yang lain
seperti nilai-nilai budaya, adat istiadat, ritual agama, kesenian,
artifak, arsitektur dan lain-lain yang bersifat local genius.
Dalam
hal menarik minat wisatawan, Tanah Batak memiliki kekayaan benda budaya
pusaka peninggalan sejarah nenek moyang. Beberapa jenis benda sejarah
yang cukup dikenal pada zaman berburu dan meramu (zaman Pleistocen
1.500.000-19.000 -- zaman Holecein 10.000-3.000 SM) adalah Sior, alat
yang dipakai suku Batak Toba dalam memanah binatang. Sumpitan digunakan
pada zaman berburu untuk menembak binatang.
Curu-curu sebagai tempat kemenyan suku Batak Pakpak, Dairi dalam mengumpulkan bahan makanan dengan cara meramu dalam mempertahankan hidup. Selain itu Tali Tolang sebagai tali untuk memanjat pohon enau.
Dalam
memburu binatang besar biasanya masyarakat menggunakan lembing,
perangkap, jerat dan bedil. Sementara untuk binatang kecil menggunakan
panah, sumpitan, jaring dan pemulut (Pikat dan getah).
Kebiasaan
meramu dan berburu hingga sekarang masih menjadi pekerjaan sambilan
suku Batak Toba di pedesaan. Sehingga meski jarang ditemui, benda-
benda sejarah ini masih ada yang disimpan oleh penduduk di pedesaan
sampai sekarang.
Miliki Nilai Sejarah Yang Tinggi
Sebelum pengaruh asing masuk ke Sumatera Utara (Sumut) masyarakat masih menggunakan sistem barter dalam perdagangan. Saling tukar menukar antar hasil bumi dan barang-barang penduduk dengan suku pendatang. Alat pengukur setiap suku atau daerah hampir bersamaan yaitu takaran yang dibuat dari bambu atau kayu yang disebut Solup (Batak Toba) dan Tumba (Batak Karo) untuk mengukur padi, beras dan kacang.
Rupanya
pada zaman prasejarah masyarakat Batak Toba sudah memiliki keahlian
dalam membuat peralatan rumah tangga dari kayu, rotan dan bambu.
Perabot rumah tangga ini terdiri dari kursi, meja dan lemari.
Benda-benda kerajinan/anyaman terdiri dari bambu dan rotan. Dasar
anyaman umumnya menggunakan pola silang antara fungsi vertikal dan
horizontal. Ragam hiasaan umumnya diambil dari motip flora dan fauna.
Salah satu karya kerajinan jenis ini masih ditemui pada Kampil (Tempat sirih) Batak Karo.
Benda-benda
lain peninggalan nenek moyang Batak Toba adalah benda-benda menanak
nasi, alat-alat dapur, peralatan masak dan dapur yang sudah jarang
ditemui. Benda pusaka ini malah ada yang diperjualbelikan sampai jutaan
rupiah karena bentuknya yang kecil dan unik. Biasanya yang menampung
benda pusaka ini adalah para kolektor yang tersebar di penjuru tanah
air.
Menurut
salah seorang kolektor yang suka membeli benda pusaka budaya Batak
Toba, benda-benda sejarah Batak memiliki nilai seni yang cukup tinggi.
Selain unik, katanya, benda bersejarah ini sangat cocok dijadikan
koleksi. “Itu sebabnya saya pernah membeli satu buah Hudon Tano (Periuk
tanah) dan Harpe (Alas periuk) masing-masing senilai lima juta rupiah dari seorang warga di Samosir,” akunya pada Penulis namun enggan menyebut namanya.
Pada
bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis
geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut
adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan
lambang kesatuan. Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut
Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri
disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk.
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu
pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan
untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang
berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran
saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah.
Pengamatan Penulis disejumlah daerah di Tanah Batak tentang keberadaan warisan rumah adat nenek moyang suku Batak Toba menunjukkan bahwa sudah banyak yang tidak
terawat dan terkesan diabaikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.
Sehingga keberadaan rumah Bolon sudah terancam punah.
“Mungkin sepuluh tahun
ke depan, kita tidak akan melihat lagi rumah Bolon yang berdiri secara
utuh di kampung Batak bila Pemerintah daerah (Pemda) tidak segera
berperan untuk mengkonservasi warisan nenek moyang. Padahal rumah Bolon
memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk menjadi daya tarik
wisatawan,”ujar seorang Tokoh Adat Batak Toba bermarga Simbolon.
Menurut
Simbolon, salah satu upaya untuk mengkonservasi rumah Bolon adalah
dengan merawat dan menjaga keadaan rumah Bolon tetap baik dengan
melibatkan masyarakat setempat agar tujuan konservasi berhasil.
Menjaga kelestarian benda budaya Batak
Selain peran Pemerintah daerah dalam mengkonservasi benda budaya dan melibatkan peran masyarakat setempat agar tujuan konservasi berhasil, maka menurut salah seorang Antropologi
Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Dra Hernauli Sipayung,
menyarankan agar benda budaya pusaka yang masih dimiliki masyarakat
agar diserahkan ke Museum untuk dikonservasi.
Maksudnya
agar pihak museum yang merawat benda-benda ini agar tidak punah.
Terutama benda pusaka yang hampir punah dan memiliki nilai sejarah yang
tinggi, sebaiknya segera diserahkan ke museum. "Sebab dalam
mengkonservasi benda-benda bersejarah ini diperlukan ketelitian dan
kepedulian yang tinggi," ujar Hernauli yang merupakan Kepala Bidang
Konservasi Museum Sumatera Utara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar