Minggu, 18 April 2010

Silalahi Nabolak

( Tanah Leluhur keturunan Silahisabungan )

Sejarah mencatat, Sipaettua, Silahisabungan dan Sirajaoloan harus meninggal- kan saudara sulung mereka Sibagotnipohan di Lumban Gorat (Balige).

Dalam perjalan Sipaettua, Silahisabungan dan Sirajaoloan meninggalkan tanah leluhur mereka, mereka sepakat untuk mencari daerah baru dan menjauh dari saudara sulung mereka di Lumban Gorat ( Balige ).

Sipaettua akhirnya memilih tinggal menetap di Laguboti dan keturunannya, yaitu Pangulu Ponggok Naiborngin, Sipartano Naiborngin dan Pardundong alias Puraja Laguboti. Keturunan Pangulu Ponggok Naiborngin memakai marga Hutahaean, Aruan dan Hutajulu. Keturunan Sipartano Naiborngin memakai marga Sibarani dan Sibuea. Keturunan Puraja Laguboti memakai marga Pangaribuan dan Hutapea Laguboti.

Tinggallah Silahisabungan dan Sirajaoloan melanjutkan perjalanan mereka. Akhirnya Sirajaoloan memilih tinggal menetap di Pangunguran Samosir, namun kemudian Sirajaoloan berpindah lagi ke Bakara. Keturunan Sirajaoloan memakai marga Naibaho, Sihotang, Bakara, Sinambela, Sihite, Manullang.

Silahisabungan akhirnya mengembara sebatangkara meninggalkan adiknya Sirajaoloan di Pangunguran sampai kemudian Silahisabungan menemukan suatu daerah dan menamainya Silalahi Nabolak (sekarang wilayah Kab. Dairi). Keturunan Silahisabungan memakai marga Sihaloho, Situngkir, Rumasondi, Sidabariba, Sinabutar, Sidebang , Pintubatu, Tambun, Tambunan, Silalahi, Doloksaribu, Sinurat, Nadapdap, Naiborhu, Rumasingap, Sipangkar, Sipayung, Sembiring, Sigiro dan Lumbanpea.


HORJA BIUS

Dalam budaya masyarakat Batak mengenal BIUS. Dahulu kala, Bius merupakan hukum adat tertinggi dalam persekutuan masyarakat Batak ( yang nota bene terdiri atas beberapa marga ) dalam suatu wilayah / huta. Pimpinan tertinggi dari bius ini adalah berasal dari Raja Marga Sipungka Huta. Yang dimaksud Raja Marga Sipungka Huta ( Raja Bius ) adalah golongan marga perintis (Penguasa) yang mendiami sekaligus pengukuhan kepemilikan wilayah / huta tersebut bagi marga-marga pendatang. Bius sangat dihormati sebagai hukum dan ikatan persatuan antara marga-marga Sipungka Huta dengan marga-marga pendatang di wilayah / huta itu.

Kegiatan ini disebut Horja Bius. Horja Bius hanya dapat dilakukan oleh Marga Sipungka Huta. Di Pangunguran Samosir misalnya, dikenal bius Sitolu Hae. Disebut Sitolu Hae karena di wilayah ini terdiri dari 3 (tiga) marga Sipungka huta, yaitu marga Naibaho keturunan Sirajaoloan, marga Simbolon keturunan Simbolontua dan Sitanggang keturunan Muntetua.

Naibaho terdiri atas marga-marga Siahaan, Sitangkaraek, Sidauruk, Sihutaparik dan Siagian. Simbolon terdiri atas marga-marga Nadeak, Tamba, Simbolon dan Silalahi ( sebagai Boru). Sitanggang terdiri atas marga Sitanggang, Sigalinging, Raja Pangadat dan Malau ( sebagai Boru ). Artinya, marga Silalahi dan marga Malau adalah sebagai pendatang yang dikukuhkan marga Sipungka huta mendiami wilayah / huta Pangunguran.

Bius Silahisabungan berada di Silalahi Nabolak, yang disebut Bius Parsang- garan yang terbagi atas 3 (tiga) turpuk yakni Bius Siopat Turpuk ( Sihaloho, Rumasondi, Sidabariba, Pintubatu), Bius Sitolu Tupuk ( Situngkir, Sinabutar, Sidebang), Bius Tambun.

Catatan :

1) Keturunan Silahisabungan ( marga Silalahi ) yang ada di Samosir
( Pangunguran, Parbaba, Tolping, Sibisa ) adalah sebagai marga pendatang. Faktanya, marga Silalahi bukan sebagai Sipungka Huta, artinya marga Silalahi tidak memiliki kapasitas menjadi Raja Bius.

2) Kisah penculikan 3 ( tiga ) cucu Raja Silahisabungan, namun 2 ( dua )
orang berhasil meloloskan diri ketika perahu Tuan Sihubil melewati pesisir Pangunguran diindikasikan sebagai cikal bakal keberadaan marga Silalahi di Pangunguran , Tolping dan sekitarnya.


Sumber : Buku, Sejarah Raja Silahisabungan , oleh. J.Sihaloho

1 komentar: